Indonesia sebagai sebuah
Negara yang dianugerahi berbagai kekayaan sumber daya alam di antaranya sumber
daya hutan, di mana pada perkembangannya pengelolaan dan pemanfaatan mengalami
beberapa decade yang berbeda seperti : decade tahun 1970 sampai 1980-an yang merupakan
era tebang dan jual yang tentunya merupakan usaha yang sangat sederhana namun
menghasilkan keuntungan dalam waktu yang singkat.
Dekade 80-90an yang
merupakan pola kombinasi industri hulu dan industri berupa pengelolahan bahan
baku log menjadi barang setengah jadi ataupun barang jadi.
Akan tetapi apabila
memperhatikan perkembangan tiga tahun terakhir marketing plywood Indonesia
yang sebelumnya sempat menjadi primadona atau andalan ekspor non migas
tampaknya tidak secerah pemasukan devisa 3-5 tahun yang lalu. Dimana barangkali
hal ini dipengaruhi oleh banyak factor antara lain : pasokan bahan baku yang
tidak semudah sebagaimana decade sebelumnya, persaingan dari produsen plywood
lainnya dan ditambah pula banyaknya industri plywood Indonesia yang masih
mempertahankan teknologi dan mesin era awal berdirinya pabrik tersebut pada
tahun 80-an hingga tingkat efisiensinya sangat diragukan.
Namun sebagai pengusaha
tetap bertahan pada core business perkayuannya dengan di kombinasikan atau
bahasa kerennya diversifikasi jenis usaha lain baik yang mempunyai keterkaitan
dengan core business-nya maupun murni diversifikasi usaha lain.
Di antara pengusaha yang
melakukan diversifikasi usaha masih dalam lingkup kehutanan sebagaimana tampak
trend yang terjadi pada decade tahun 90-an adalah dengan melaksanakan
pembangunan hutan tanaman industri (HTI) yang diharapkan sebagai upaya
antisipasi pemenuhan bahan baku pada waktu yang akan datang.
Akan tetapi pembangunan
hutan tanaman industri semata tidak akan cukup menjawab permasalahan produksi
yang timbul tanpa upaya penyesuaian tipe teknologi dan mesin industri yang akan
memproses produk hutan tanaman tersebut maupun penjajakan calon konsumen.
Ini karena karakter
bahan baku yang selama ini Dipterocarpaceae
sangat berlainan dengan fast growing species yang banyak
ditanam pada areal hutan tanaman industri.
Diantaranya upaya-upaya
penyesuaian produksi dengan bahan baku produk hutan tanaman yang biasa
dilakukan adalah, antara lain :
1. REINVESTASI
Penggantian sebagian
mesin produk yang mampu memproses log fost growing species yang umumnya
berdiameter kecil dan lebih lunak.
Dalam hal ini bisaa
dilakukan kombinasi veneer asal log Dipterocarpaceae dengan veneer yang
diproduksi dari log fast growing species.
Memang untuk
implementasi hal ini tidak semudah dan sesederhana itu, dikarenakan tentunya
masih perlu diiringi kajian-kajian lainnya seperti formula lem yang akan
digunakan tersebut.
Namun menurut penulis
hal ini merupakan satu alternative upaya yang bisa dilakukan guna
mempertahankan eksistensi dan kesinambungan industri yang telah ada dan telah
memberikan ketergantungan sekian ribu karyawannya.
2. INDUSTRI
BARU
Membangun industri baru
yang memang secara spesifik diperuntukkan guna memproses barang setengah jadi
ataupun barang jadi dari log hutan tanaman, antara lain berupa industri MDF
atau pulp/kertas.
Pada kesempatan ini
penulis mencoba menyoroti hanya industri pulp, karena apa ?
Tampaknya produk MDF
Indonesia masih sulit bersaing di pasar Internasional, hingga masih memerlukan
kiat-kiat inovatif yang mampu menerobos barikade pasar dimaksud.
Tentunya daya saing pulp
Indonesia sangat berlainan dengan daya saing produk MDF di mana hal ini
barangkali belum hilang dari ingatan pembaca bahwa 3-4 tahun yang lalu di
Indonesia sempat kesulitan pasokan pulp dan bukan karena produksi pulp dalam
negeri yang kecil.
Namun lebih banyak
diakibatkan bahwa harga jual ekspor pada waktu itu jauh sangat menguntungkan
dibandingkan pasar domestic.
Dari sini merupakan
contoh kecil indikasi bahwa daya saing produk pulp Indonesia di pasar
internasional cukup kompetitif.
Sementara itu keperluan
pulp akan seiring laju permintaan kertas dan konsumsi kertas akan terus
bertambah sesuai dengan pertambahan penduduk perkembangan budaya peningkatan
ekonomi dan factor lainnya.
Sebagai gambaran
konsumsi kertas dunia berkapita berdasarkan sumber Pulp and Paper International
Fact and Price Book/FAO 1994 sebagai berikut :
Wilayah
|
1983
|
1992
|
Pertumbuhan
Tahunana
|
Amerika
Serikat
|
261,8
|
298
|
1,4 Persen
|
Eropa
Barat
|
120,3
|
161,5
|
3,3 Persen
|
Asia
|
13,3
|
22
|
5,8 Persen
|
Amerika
Latin
|
108
|
125,9
|
1,7 Persen
|
Afrika
|
5
|
5,2
|
0,4 Persen
|
Sedangkan berdasarkan
hasil studi Jaako Poyry mengatakan bahwa konsumsi kertas dunia meningkat dari
169 juta ton pada tahun 1981 menjadi 239 juta ton pada tahun 1990. ini berarti
bahwa laju pertumbuhan tahunan rata-rata adalah 4 persen.
Pada tahun 2005 konsumsi
kertas dunia diperkirakan akan mencapai 346 juta ton. Dengan demikian laju
pertumbuhan rata-rata untuk periode 1990-2005 adalah sekitar 2,7 persen.
Apabila melihat
pertumbuhan rata-rata konsumsi kertas perkapita pada beberapa Negara pada
periode 1983-1992 (Sumber FAO) sebagai berikut :
(10,7
persen)
|
|
China
|
(9,8 persen)
|
Indonesia
|
(9,9 persen)
|
Malaysia
|
(9,2 persen)
|
Thailand
|
(9,3 persen)
|
Taiwan
|
(8,4 persen)
|
Singapura
|
(7,7 persen)
|
Chili
|
(6,4 persen)
|
Walaupun penulis belum
bias menyajikan angka total produksi sebagai perbandingan angka konsumsi namun
melihat trend konsumsi kertas yang terus meningkat maka secara otomatis akan
mendorong permintaan pulp yang semakin besar.
Dan daya saing pulp
produk Indonesia sebagaimana diutarakan di atas akan mempunyai daya saing yang
sangat kompetitif.
Hal ini didasari ataupun
didukung oleh beberapa factor, antara lain sebagai berikut :
1. BAHAN
BAKU
Sudah diakui banyak
pihak bahwa bahan baku (pulp wood) Indonesia dan umumnya Negara tropis akan
lebih murah dibandingkan asal Negara subtropis.
Barangkali diakibatkan
daur tanaman yang lebih singkat lahan yang tersedia masih luas dan aspek
lainnya.
2. BIAYA
TENAGA KERJA
Banyak industri dari
beberapa Negara seperti Jepang dan Korea merelokasi pabriknya di Indonesia
dengan salah satu pertimbangan murahnya biaya tenaga kerja. Bahkan ironisnya
seringkali murahnya tenaga kerja Indonesia dijadikan salah satu daya tarik
investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Memang tidak bias
disangkal bahwa pada akhir-akhir ini pihak Depnaker terus berupaya memperbaiki
upah pekerja dari standar kebutuhan fisik minimum (KFM) menjadi kebutuhan hidup
minimum (KHM).
Namun apabila penulis
tidak salah melihat tampaknya perhitungan UMR selama ini adalah didasarkan pada
standar pekerja yang masih lajang. Bagaimana bagi yang sudah berkeluarga ?
3. REGIONAL
ASIA PASIFIK
Sudah banyak ahli
ekonomi dunia yang meramalkan bahwa abad ini pertumbuhan ekonomi Asia Fasifik
yang tentunya langsung tidak langsung akan mempengaruhi keperluan kertas/pulp.
Sehingga secara otomatis produk industri yang berlokasi di kawasan ini akan
banyak memperoleh keuntungan dengan lebih dekatnya ke pangsa pasar yang
diperkirakan akan terus berkembang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar