Jumat, 01 Februari 2013

PRODUKSI PULP DAN PROSPEK PEMASARANNYA DI DUNIA



Indonesia sebagai sebuah Negara yang dianugerahi berbagai kekayaan sumber daya alam di antaranya sumber daya hutan, di mana pada perkembangannya pengelolaan dan pemanfaatan mengalami beberapa decade yang berbeda seperti : decade tahun 1970 sampai 1980-an yang merupakan era tebang dan jual yang tentunya merupakan usaha yang sangat sederhana namun menghasilkan keuntungan dalam waktu yang singkat.
Dekade 80-90an yang merupakan pola kombinasi industri hulu dan industri berupa pengelolahan bahan baku log menjadi barang setengah jadi ataupun barang jadi.
Akan tetapi apabila memperhatikan perkembangan tiga tahun terakhir marketing plywood  Indonesia yang sebelumnya sempat menjadi primadona atau andalan ekspor non migas tampaknya tidak secerah pemasukan devisa 3-5 tahun yang lalu. Dimana barangkali hal ini dipengaruhi oleh banyak factor antara lain : pasokan bahan baku yang tidak semudah sebagaimana decade sebelumnya, persaingan dari produsen plywood lainnya dan ditambah pula banyaknya industri plywood Indonesia yang masih mempertahankan teknologi dan mesin era awal berdirinya pabrik tersebut pada tahun 80-an hingga tingkat efisiensinya sangat diragukan.
Namun sebagai pengusaha tetap bertahan pada core business perkayuannya dengan di kombinasikan atau bahasa kerennya diversifikasi jenis usaha lain baik yang mempunyai keterkaitan dengan core business-nya maupun murni diversifikasi usaha lain.
Di antara pengusaha yang melakukan diversifikasi usaha masih dalam lingkup kehutanan sebagaimana tampak trend yang terjadi pada decade tahun 90-an adalah dengan melaksanakan pembangunan hutan tanaman industri (HTI) yang diharapkan sebagai upaya antisipasi pemenuhan bahan baku pada waktu yang akan datang.
Akan tetapi pembangunan hutan tanaman industri semata tidak akan cukup menjawab permasalahan produksi yang timbul tanpa upaya penyesuaian tipe teknologi dan mesin industri yang akan memproses produk hutan tanaman tersebut maupun penjajakan calon konsumen.
Ini karena karakter bahan baku yang selama ini Dipterocarpaceae sangat berlainan dengan fast growing species yang banyak ditanam pada areal hutan tanaman industri.
Diantaranya upaya-upaya penyesuaian produksi dengan bahan baku produk hutan tanaman yang biasa dilakukan adalah, antara lain :


1.     REINVESTASI
Penggantian sebagian mesin produk yang mampu memproses log fost growing species yang umumnya berdiameter kecil dan lebih lunak.
Dalam hal ini bisaa dilakukan kombinasi veneer asal log Dipterocarpaceae dengan veneer yang diproduksi dari log fast growing species.
Memang untuk implementasi hal ini tidak semudah dan sesederhana itu, dikarenakan tentunya masih perlu diiringi kajian-kajian lainnya seperti formula lem yang akan digunakan tersebut.
Namun menurut penulis hal ini merupakan satu alternative upaya yang bisa dilakukan guna mempertahankan eksistensi dan kesinambungan industri yang telah ada dan telah memberikan ketergantungan sekian ribu karyawannya.

2.     INDUSTRI BARU
Membangun industri baru yang memang secara spesifik diperuntukkan guna memproses barang setengah jadi ataupun barang jadi dari log hutan tanaman, antara lain berupa industri MDF atau pulp/kertas.
Pada kesempatan ini penulis mencoba menyoroti hanya industri pulp, karena apa ?
Tampaknya produk MDF Indonesia masih sulit bersaing di pasar Internasional, hingga masih memerlukan kiat-kiat inovatif yang mampu menerobos barikade pasar dimaksud.
Tentunya daya saing pulp Indonesia sangat berlainan dengan daya saing produk MDF di mana hal ini barangkali belum hilang dari ingatan pembaca bahwa 3-4 tahun yang lalu di Indonesia sempat kesulitan pasokan pulp dan bukan karena produksi pulp dalam negeri yang kecil.
Namun lebih banyak diakibatkan bahwa harga jual ekspor pada waktu itu jauh sangat menguntungkan dibandingkan pasar domestic.
Dari sini merupakan contoh kecil indikasi bahwa daya saing produk pulp Indonesia di pasar internasional cukup kompetitif.
Sementara itu keperluan pulp akan seiring laju permintaan kertas dan konsumsi kertas akan terus bertambah sesuai dengan pertambahan penduduk perkembangan budaya peningkatan ekonomi dan factor lainnya.
Sebagai gambaran konsumsi kertas dunia berkapita berdasarkan sumber Pulp and Paper International Fact and Price Book/FAO 1994 sebagai berikut :



Wilayah
1983
1992
Pertumbuhan Tahunana
Amerika Serikat
261,8
298
1,4 Persen
Eropa Barat
120,3
161,5
3,3 Persen
Asia
13,3
22
5,8 Persen
Amerika Latin
108
125,9
1,7 Persen
Afrika
5
5,2
0,4 Persen

Sedangkan berdasarkan hasil studi Jaako Poyry mengatakan bahwa konsumsi kertas dunia meningkat dari 169 juta ton pada tahun 1981 menjadi 239 juta ton pada tahun 1990. ini berarti bahwa laju pertumbuhan tahunan rata-rata adalah 4 persen.
Pada tahun 2005 konsumsi kertas dunia diperkirakan akan mencapai 346 juta ton. Dengan demikian laju pertumbuhan rata-rata untuk periode 1990-2005 adalah sekitar 2,7 persen.
Apabila melihat pertumbuhan rata-rata konsumsi kertas perkapita pada beberapa Negara pada periode 1983-1992 (Sumber FAO) sebagai berikut :
(10,7 persen)
China
(9,8 persen)
Indonesia
(9,9 persen)
Malaysia
(9,2 persen)
Thailand
(9,3 persen)
Taiwan
(8,4 persen)
Singapura
(7,7 persen)
Chili
(6,4 persen)

Walaupun penulis belum bias menyajikan angka total produksi sebagai perbandingan angka konsumsi namun melihat trend konsumsi kertas yang terus meningkat maka secara otomatis akan mendorong permintaan pulp yang semakin besar.
Dan daya saing pulp produk Indonesia sebagaimana diutarakan di atas akan mempunyai daya saing yang sangat kompetitif.
Hal ini didasari ataupun didukung oleh beberapa factor, antara lain sebagai berikut :
1.     BAHAN BAKU
Sudah diakui banyak pihak bahwa bahan baku (pulp wood) Indonesia dan umumnya Negara tropis akan lebih murah dibandingkan asal Negara subtropis.
Barangkali diakibatkan daur tanaman yang lebih singkat lahan yang tersedia masih luas dan aspek lainnya.

2.     BIAYA TENAGA KERJA
Banyak industri dari beberapa Negara seperti Jepang dan Korea merelokasi pabriknya di Indonesia dengan salah satu pertimbangan murahnya biaya tenaga kerja. Bahkan ironisnya seringkali murahnya tenaga kerja Indonesia dijadikan salah satu daya tarik investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Memang tidak bias disangkal bahwa pada akhir-akhir ini pihak Depnaker terus berupaya memperbaiki upah pekerja dari standar kebutuhan fisik minimum (KFM) menjadi kebutuhan hidup minimum (KHM).
Namun apabila penulis tidak salah melihat tampaknya perhitungan UMR selama ini adalah didasarkan pada standar pekerja yang masih lajang. Bagaimana bagi yang sudah berkeluarga ?

3.     REGIONAL ASIA PASIFIK
Sudah banyak ahli ekonomi dunia yang meramalkan bahwa abad ini pertumbuhan ekonomi Asia Fasifik yang tentunya langsung tidak langsung akan mempengaruhi keperluan kertas/pulp. Sehingga secara otomatis produk industri yang berlokasi di kawasan ini akan banyak memperoleh keuntungan dengan lebih dekatnya ke pangsa pasar yang diperkirakan akan terus berkembang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar