Jumat, 01 Februari 2013

KABUT ASAP TEBAL YANG MENJADI MALAPETAKA



Pidato Mentri Kehutanan Ir. Djamaloedin Suryohadikusumo pada pengarahan pembekalan pencegahan dan penanggulangan hutan dan lahan tanggal 28 Juli 1997. menyampaikan bahwa berkaitan dengan peristiwa kebakaran hutan dan lahan serta pembakaran limbah vegetasi yang menimbulkan gangguan asap, kita sadari bersama bahwa penyebabnya juga tidak terlepas dari  unsure masyarakat di sekitar hutan. Namun kita juga harus menyadari sepenuhnya bahwa mereka, karena kondisi social ekonominya, harus kita perhatikan secara khusus. Dengan demikian di semua sector hendaknya dapat menyentuh kepentingan masyarakat untuk “meningkatkan kepedulian kesejahteraan dan partisipasi masyarakat”.
Sementara itu menilik hasil pemantauan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) dijelaskan bahwa secara umum kemarau tahun ini tidak merupakan musim kemarau panjang, namun termasuk musim kemarau yang tergolong kering/curah hujan kering. Meskipun demikian memang ada beberapa daerah yang menunjukkan indikasi mengalami  periode musim kemarau yang sangat panjang.



Dengan memperhatikan  penjelasan tersebut, tampak bahwa terdapat beberapa factor yang saling terkait secara langsung maupun tidak langsung turut berperan atau mempunyai kontribusi atas terjadinya malapetaka asap tebal, diantaranya adalah :

AKTIVITAS MANUSIA
Apabila kita menarik perjalanan sejarah peradaban manusia, dimana tidak terlepas dari keberadaan api sebagai salah satu unsure keperluan hidup manusia dari mulai sumber api yang sederhana dengan cara menggosokkan dua bilah batu hingga sumber api yang berasal dari api gas sebagaimana pada saat sekarang sering digunakan. Berbagai kegiatan pembangunan yang sedang digalakkan pemerintah Indonesia, di antaranya terdapat beberapa aktivitas yang berhubungan dengan pembukaan hutan/lahan yang membuka kemungkinan untuk dilakukan pembakaran dengan berbagai pertimbangan yang melatar belakanginya
Pembukaan lahan tersebut antara lain berupa penyiapan lahan transmigrasi, perkebunan dan HTI. Khusus untuk penyiapan lahan transmigrasi dan perkebunan, dimana dituntut kondisi lahan yang bersih dari segala limbah penyiapan lahan, maka kegiatan pembakaransisa penyiapan lahan menjadi sangat penting. Sementara ktu, program penempatan transmigrasi yang pada Pelita VI mempunyai target penempatan sebanyak 600.000 KK dengan luasan lahan yang dibutuhakan adalah seluas 2.400.000 hektare. Sedangkan yang dibuka pada waktu penyiapan permukiman tahun pertama adalah seluas 750.000 hektare (makalah Direktur Penyiapan Lahan Pemukiman Deptrans, 28 Juli 1997).
Mengingat jumlah luasan yang akan dibuka sangat besar, maka konsistensi pelaksanaan penyiapan lahan tanpa baker sangat diperlukan. Karena apa ? Bisa dibayangkan apabila dilaksanakan dengan pembakaran. Penyiapan lahan pembangunan HTI acapkali dikaitkan pula dengan pembakaran. Hal ini terkadang menjadi diskusi yang berkepanjangan, karena terdapat dua pendapat yang bertentangan. Pendapat pertama menyatakan bahwa pembakaran penyiapan lahan sangat dianjurkan, karena akan segera mengembalikan unsur-unsur yang hara yang terkandung didalam biomas ke dalam tanah pada lapisan atas, terutama unsur-unsur hara makro. Pendapat kedua, menyatakan bahwa pembakaran lahan menyebabkan matinya mikroorganisme di dalam tanah yang berfungsi untuk memperbaiki struktur tanah. Dalam hal ini terpulang pada kebijakan masing-masing perusahaan untuk menentukan system penyiapan lahan.
Namun dengan adanya teknik-teknik serta tambahan alat khusus, antara lain berupa manfaat kayu secara total (meminimalkan limbah pemanfaatan kayu); maka pembayaran dalam rangka penyiapan lahan dalam pembangunan HTI bukan lagi menjadi hal yang mutlak. Bahkan mungkin harus dihindari. Aktifitas manusia lainnya yang juga memiliki kontribusi dalam menyebabkan timbulnya asap adalah pembukaan lahan oleh masyarakat tradisional. Pada masyarakat tradisional ketergantungan pada penyiapan lahan dengan melakukan pembakaran untuk memenuhi kebutuhan areal pertanian sangat tinggi.
Dengan bertambahnya pengetahuan dan keterampilan masyarakat, terdapat pergeseran nilai-nilai tradisional terhadap pemanfaatan hutan, dari sepenuhnya tergantung pada hasil hutan (seperti kayu, buah dan lain-lain) kearah pemanfaatan lahan hutan dengan peruntukan ladang atau lainnya.
Dengan pembukaan ladang, masyarakat tradisional yang saat ini sudah cukup maju, dapat me-manage penggunaan lahan mereka disesuaikan dengan kebutuhan dan trend pasar. Akan tetapi pada prakteknya, tidak hanya petani yang melakukan pembakaran, melainkan terdapat pula kelompok masyarakat yang baru berusaha menjadi petani. Hal tersebut diatas mendorong semakin meningkatnya kecenderungan pembukaan ladang, yang identik dengan penyiapan lahan secara tradisional dengan pembakaran. Dari hal-hal tersebut, jelas bahwa aktivitas manusia dalam pembukaan lahan sangat menentukan dan berpengaruh dalam kemungkinan kemunculan asap.

CUACA
Musim kemarau yang berkepanjangan yang menurunkan kelembaban lingkungan mendukung meningkatnya suhu bahan-bahan potensial seperti limbah-limbah sisa penyiapan lahan. Berdasarkan data dari stasium Meteorologi Berau, bulan kering pada tahun1997 terjadi selama 5 bulan, dengan suhu rata-rata 27,6 derajat Celcius, dan rata-rata kelembaban 76% hal ini dapat menjadi salah satu indikasi bahwa terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Berau dan sekitarnya pada akhir-akhir ini antara lain disebabkan oleh pengaruh cuaca kering, demikian pula wilayah Kaltim Lainnya.

SUMBER DAYA ALAM
Deposit aktif batubara di bawah permukaan tanah merupakan salah satu penyebab potensial lama dan sulitnya pengendalian kebakaran hutan. Didukung dengan cuaca yang kering dan panas, suhu dibawah permukaan tanah yang mengandung batubara meningkat. Hal ini merupakan salah satu sebab kebakaran hutan, sebagaimana terjadi api abadi di Bukit Soeharto dan sekitarnya.
Tingginya kerapatan vegetasi sangat berpengaruh pada tinggi rendahnya peluang kebakaran, dikarenakan penyiapan lahan pada areal yang mempunyai vegetasi yang rapat secara langsung akan mengakibatkan jumlah bahan baku/bakar yang lebih banyak, dimana hal ini akan memudahkan penyulutan dan penjalaran api apabila terjadi kebarakan. Namun terlepas dari mana sumber api berasal, dalam hal ini penulis melihat suatu contoh kasus yang terjadi di areal salah satu HTI di Berau yang beberapa petak tanamannya terbakar, dimana tampak upaya keras jajaran perusahaan untuk memadamkan/mengendalikan kebakaran yang terjadi baik di arealnya sendiri maupun di areal perladangan yang berbatasan.
Akan tetapi tertanya HTI tersebut merupakan satu diantara 29 perusahaan yang dicabut IPK-nya, yang secara langsung akan menghentikan kegiatan penyiapan lahan pada tahun berjalan. Di sinilah tampak kehati-hatian dan ketelitian pencabutan suatu perizinan IPK yang berkaitan dengan pembakaran lahan perlu diperhatikan. Karena apa ? Apabila hal ini diakibatkan oleh aktivitas di luar kendali perusahaan yang bersangkutan sehingga merupakan musibah bagi yang bersangkutan, maka tentunya sudah jatuh tertimpa tangga.
Hal inipun terlihat pada penjelasan Kakanwil Kehutanan Kalimantan Timur pada Suara Pembaharuan (3/10) yang menyatakan bahwa kebakaran yang terjadi bukan pada tahapan land clearing (pembersihan lahan) bahkan tanaman HTI yang berusia 2-3 tahun ikut terbakar. Jadi secara logika saja tidak mungkin  pembakaran ini dilakukan oleh perusahaan sendiri. Atau barangkali termasuk kategori yang dijelaskan oleh Direktur Bina Pengusaha Hutan Pada Republika (4/10) yang menyatakan bahwa dalam surat pencabutan IPK, dicantumkan catatan apabila dikemudian hari terjadi kekeliruan, maka IPK bias dikembalikan, missal BAP sudah dikirim namun belum sampai ke Departemen Kehutanan.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas, maka kita bias melihat dan menarik suatu kesimpulan, antara lain :
1.   Terdapat beberapa komponen atau factor penyebab yang mempunyai kontribusi terjadinya kebakaran, sehingga perlu ditelusuri keterkaitan satu dengan lainnya guna dijadikan bahan pengendalian pada waktu mendatang.
2.   Gangguan asap tebal banyak menimbulkan gangguan pada kesehatan, transportasi atau ekonomi masyarakat secara umum, sehingga sudah selayaknya apabila penyebab ini semua mendapat sanksi yang setimpal. Namun dalam penerapan sanksi inipun dituntut ketelitian dan kehati-hatian yang proporsional, sehingga penyelesaian masalah yang pertama tidak menimbulkan masalah baru.
3.   Perlunya kearifan dari pihak yang terkait dengan aktivitas yang berhubungan dengan bakar membakar untuk melakukan kaji ulang atas aktivitasnya tersebut sehingga tidak terulang lagi kejadian serupa pada masa mendatang. Dalam hal ini semua aktivitas penyiapan lahan sebetulnya bisa dilaksanakan tanpa harus  diadakan pembakaran dengan cara adanya tambahan investasi alat dan penguasaan teknik-teknik penyiapan lahan tanpa bakar.
4.   Perlunya perhatian dan upaya yang intensif, terarah dan terpadu pada peningkatan persepsi dan kesejahteraan masyarakat yang pada akhirnya dapat mengurangi ketergantungan kelompok masyarakat yang selama ini malaksanakan penyiapan lahan dengan pembakaran secara bertahap bisa dikurangi. Dan ironisnya sekali apabila justru yang mengembangkan itu merupakan kelompok masyarakat yang seharusnya menjadi pembimbing dan panutan untuk tidak melakukan pembakaran.
5.   Perhatian dan kesibukan tampak terlihat pada saat asap telah menjadi malapetaka, padahal hal ini pernah terjadi pada tahun sebelumnya dan data pada Badan Meteorologi dan Geofisika telah menunjukkan akan datangnya musim kemarau. Hal ini tentunya perlu dijadikan catatan pada tahun-tahun mendatang yang berkaitan dengan pembakaran bisaa disiapkan lebih awal dan tindakan-tindakan antisipatif lainnya.
6.   Keterampilan dan peralatan pemadaman yang tampaknya belum memadai, baik pada perusahaan swasta perkebunan, kehutanan maupun instansi pemerintah seperti taman nasional, cagar alam, dan sebagainya. Hal ini tampaknya terlihat pada kesulitan dan luasnya areal terbakar yang tidak bisa dikendalikan
































Tidak ada komentar:

Posting Komentar