Pidato Mentri Kehutanan
Ir. Djamaloedin Suryohadikusumo pada pengarahan pembekalan pencegahan dan
penanggulangan hutan dan lahan tanggal 28 Juli 1997. menyampaikan bahwa berkaitan
dengan peristiwa kebakaran hutan dan lahan serta pembakaran limbah vegetasi
yang menimbulkan gangguan asap, kita sadari bersama bahwa penyebabnya juga
tidak terlepas dari unsure masyarakat di
sekitar hutan. Namun kita juga harus menyadari sepenuhnya bahwa mereka, karena
kondisi social ekonominya, harus kita perhatikan secara khusus. Dengan demikian
di semua sector hendaknya dapat menyentuh kepentingan masyarakat untuk
“meningkatkan kepedulian kesejahteraan dan partisipasi masyarakat”.
Sementara itu menilik
hasil pemantauan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) dijelaskan bahwa secara
umum kemarau tahun ini tidak merupakan musim kemarau panjang, namun termasuk
musim kemarau yang tergolong kering/curah hujan kering. Meskipun demikian
memang ada beberapa daerah yang menunjukkan indikasi mengalami periode musim kemarau yang sangat panjang.
Dengan
memperhatikan penjelasan tersebut,
tampak bahwa terdapat beberapa factor yang saling terkait secara langsung
maupun tidak langsung turut berperan atau mempunyai kontribusi atas terjadinya
malapetaka asap tebal, diantaranya adalah :
AKTIVITAS
MANUSIA
Apabila kita menarik
perjalanan sejarah peradaban manusia, dimana tidak terlepas dari keberadaan api
sebagai salah satu unsure keperluan hidup manusia dari mulai sumber api yang
sederhana dengan cara menggosokkan dua bilah batu hingga sumber api yang
berasal dari api gas sebagaimana pada saat sekarang sering digunakan. Berbagai
kegiatan pembangunan yang sedang digalakkan pemerintah Indonesia, di antaranya
terdapat beberapa aktivitas yang berhubungan dengan pembukaan hutan/lahan yang
membuka kemungkinan untuk dilakukan pembakaran dengan berbagai pertimbangan
yang melatar belakanginya
Pembukaan lahan tersebut
antara lain berupa penyiapan lahan transmigrasi, perkebunan dan HTI. Khusus
untuk penyiapan lahan transmigrasi dan perkebunan, dimana dituntut kondisi
lahan yang bersih dari segala limbah penyiapan lahan, maka kegiatan
pembakaransisa penyiapan lahan menjadi sangat penting. Sementara ktu, program
penempatan transmigrasi yang pada Pelita VI mempunyai target penempatan
sebanyak 600.000 KK dengan luasan lahan yang dibutuhakan adalah seluas
2.400.000 hektare. Sedangkan yang dibuka pada waktu penyiapan permukiman tahun
pertama adalah seluas 750.000 hektare (makalah Direktur Penyiapan Lahan
Pemukiman Deptrans, 28 Juli 1997).
Mengingat jumlah luasan
yang akan dibuka sangat besar, maka konsistensi pelaksanaan penyiapan lahan
tanpa baker sangat diperlukan. Karena apa ? Bisa dibayangkan apabila
dilaksanakan dengan pembakaran. Penyiapan lahan pembangunan HTI acapkali
dikaitkan pula dengan pembakaran. Hal ini terkadang menjadi diskusi yang
berkepanjangan, karena terdapat dua pendapat yang bertentangan. Pendapat
pertama menyatakan bahwa pembakaran penyiapan lahan sangat dianjurkan, karena
akan segera mengembalikan unsur-unsur yang hara yang terkandung didalam biomas
ke dalam tanah pada lapisan atas, terutama unsur-unsur hara makro. Pendapat
kedua, menyatakan bahwa pembakaran lahan menyebabkan matinya mikroorganisme di
dalam tanah yang berfungsi untuk memperbaiki struktur tanah. Dalam hal ini
terpulang pada kebijakan masing-masing perusahaan untuk menentukan system
penyiapan lahan.
Namun dengan adanya
teknik-teknik serta tambahan alat khusus, antara lain berupa manfaat kayu
secara total (meminimalkan limbah pemanfaatan kayu); maka pembayaran dalam
rangka penyiapan lahan dalam pembangunan HTI bukan lagi menjadi hal yang
mutlak. Bahkan mungkin harus dihindari. Aktifitas manusia lainnya yang juga
memiliki kontribusi dalam menyebabkan timbulnya asap adalah pembukaan lahan
oleh masyarakat tradisional. Pada masyarakat tradisional ketergantungan pada
penyiapan lahan dengan melakukan pembakaran untuk memenuhi kebutuhan areal
pertanian sangat tinggi.
Dengan bertambahnya
pengetahuan dan keterampilan masyarakat, terdapat pergeseran nilai-nilai
tradisional terhadap pemanfaatan hutan, dari sepenuhnya tergantung pada hasil
hutan (seperti kayu, buah dan lain-lain) kearah pemanfaatan lahan hutan dengan
peruntukan ladang atau lainnya.
Dengan pembukaan ladang,
masyarakat tradisional yang saat ini sudah cukup maju, dapat me-manage
penggunaan lahan mereka disesuaikan dengan kebutuhan dan trend pasar. Akan
tetapi pada prakteknya, tidak hanya petani yang melakukan pembakaran, melainkan
terdapat pula kelompok masyarakat yang baru berusaha menjadi petani. Hal
tersebut diatas mendorong semakin meningkatnya kecenderungan pembukaan ladang,
yang identik dengan penyiapan lahan secara tradisional dengan pembakaran. Dari
hal-hal tersebut, jelas bahwa aktivitas manusia dalam pembukaan lahan sangat
menentukan dan berpengaruh dalam kemungkinan kemunculan asap.
CUACA
Musim kemarau yang
berkepanjangan yang menurunkan kelembaban lingkungan mendukung meningkatnya
suhu bahan-bahan potensial seperti limbah-limbah sisa penyiapan lahan.
Berdasarkan data dari stasium Meteorologi Berau, bulan kering pada tahun1997
terjadi selama 5 bulan, dengan suhu rata-rata 27,6 derajat Celcius, dan
rata-rata kelembaban 76% hal ini dapat menjadi salah satu indikasi bahwa
terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Berau dan sekitarnya pada akhir-akhir
ini antara lain disebabkan oleh pengaruh cuaca kering, demikian pula wilayah
Kaltim Lainnya.
SUMBER
DAYA ALAM
Deposit aktif batubara
di bawah permukaan tanah merupakan salah satu penyebab potensial lama dan
sulitnya pengendalian kebakaran hutan. Didukung dengan cuaca yang kering dan
panas, suhu dibawah permukaan tanah yang mengandung batubara meningkat. Hal ini
merupakan salah satu sebab kebakaran hutan, sebagaimana terjadi api abadi di
Bukit Soeharto dan sekitarnya.
Tingginya kerapatan
vegetasi sangat berpengaruh pada tinggi rendahnya peluang kebakaran,
dikarenakan penyiapan lahan pada areal yang mempunyai vegetasi yang rapat
secara langsung akan mengakibatkan jumlah bahan baku/bakar yang lebih banyak, dimana
hal ini akan memudahkan penyulutan dan penjalaran api apabila terjadi
kebarakan. Namun terlepas dari mana sumber api berasal, dalam hal ini penulis
melihat suatu contoh kasus yang terjadi di areal salah satu HTI di Berau yang
beberapa petak tanamannya terbakar, dimana tampak upaya keras jajaran
perusahaan untuk memadamkan/mengendalikan kebakaran yang terjadi baik di
arealnya sendiri maupun di areal perladangan yang berbatasan.
Akan tetapi tertanya HTI
tersebut merupakan satu diantara 29 perusahaan yang dicabut IPK-nya, yang
secara langsung akan menghentikan kegiatan penyiapan lahan pada tahun berjalan.
Di sinilah tampak kehati-hatian dan ketelitian pencabutan suatu perizinan IPK
yang berkaitan dengan pembakaran lahan perlu diperhatikan. Karena apa ? Apabila
hal ini diakibatkan oleh aktivitas di luar kendali perusahaan yang bersangkutan
sehingga merupakan musibah bagi yang bersangkutan, maka tentunya sudah jatuh
tertimpa tangga.
Hal inipun terlihat pada
penjelasan Kakanwil Kehutanan Kalimantan Timur pada Suara Pembaharuan (3/10)
yang menyatakan bahwa kebakaran yang terjadi bukan pada tahapan land clearing
(pembersihan lahan) bahkan tanaman HTI yang berusia 2-3 tahun ikut terbakar.
Jadi secara logika saja tidak mungkin
pembakaran ini dilakukan oleh perusahaan sendiri. Atau barangkali
termasuk kategori yang dijelaskan oleh Direktur Bina Pengusaha Hutan Pada
Republika (4/10) yang menyatakan bahwa dalam surat pencabutan IPK, dicantumkan
catatan apabila dikemudian hari terjadi kekeliruan, maka IPK bias dikembalikan,
missal BAP sudah dikirim namun belum sampai ke Departemen Kehutanan.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas,
maka kita bias melihat dan menarik suatu kesimpulan, antara lain :
1.
Terdapat
beberapa komponen atau factor penyebab yang mempunyai kontribusi terjadinya
kebakaran, sehingga perlu ditelusuri keterkaitan satu dengan lainnya guna
dijadikan bahan pengendalian pada waktu mendatang.
2.
Gangguan
asap tebal banyak menimbulkan gangguan pada kesehatan, transportasi atau
ekonomi masyarakat secara umum, sehingga sudah selayaknya apabila penyebab ini
semua mendapat sanksi yang setimpal. Namun dalam penerapan sanksi inipun
dituntut ketelitian dan kehati-hatian yang proporsional, sehingga penyelesaian
masalah yang pertama tidak menimbulkan masalah baru.
3.
Perlunya
kearifan dari pihak yang terkait dengan aktivitas yang berhubungan dengan bakar
membakar untuk melakukan kaji ulang atas aktivitasnya tersebut sehingga tidak
terulang lagi kejadian serupa pada masa mendatang. Dalam hal ini semua
aktivitas penyiapan lahan sebetulnya bisa dilaksanakan tanpa harus diadakan pembakaran dengan cara adanya
tambahan investasi alat dan penguasaan teknik-teknik penyiapan lahan tanpa
bakar.
4.
Perlunya
perhatian dan upaya yang intensif, terarah dan terpadu pada peningkatan
persepsi dan kesejahteraan masyarakat yang pada akhirnya dapat mengurangi
ketergantungan kelompok masyarakat yang selama ini malaksanakan penyiapan lahan
dengan pembakaran secara bertahap bisa dikurangi. Dan ironisnya sekali apabila
justru yang mengembangkan itu merupakan kelompok masyarakat yang seharusnya
menjadi pembimbing dan panutan untuk tidak melakukan pembakaran.
5.
Perhatian
dan kesibukan tampak terlihat pada saat asap telah menjadi malapetaka, padahal
hal ini pernah terjadi pada tahun sebelumnya dan data pada Badan Meteorologi
dan Geofisika telah menunjukkan akan datangnya musim kemarau. Hal ini tentunya
perlu dijadikan catatan pada tahun-tahun mendatang yang berkaitan dengan
pembakaran bisaa disiapkan lebih awal dan tindakan-tindakan antisipatif
lainnya.
6.
Keterampilan
dan peralatan pemadaman yang tampaknya belum memadai, baik pada perusahaan
swasta perkebunan, kehutanan maupun instansi pemerintah seperti taman nasional,
cagar alam, dan sebagainya. Hal ini tampaknya terlihat pada kesulitan dan
luasnya areal terbakar yang tidak bisa dikendalikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar