Banyak kata-kata,
komentar, statemen yang sering muncul dan terdengar dalam setahun terakhri
namun terdapat dua kata atau padanan kata yang popular diberbagai kalangan
masyarakat yaitu reformasi dan krismon. Entah dipahami secara mendalam atau
hanya sekedar mengikuti trend, berbincang-bincang ataupun pembahasan para
pengamat politik, pelaku politik atau sumber manapun asalnya yang jelas dua
kata tersebut sangat mempengaruhi berbagai sendi kehidupan pada berbagai
kalangan termasuk sector kehutanan.
Apabila kita simak
perbincangan maupun pembahasan bagaimana hutan Indonesia atau Kalimantan
seharusnya dikelola, apa yang menjadi kesalahan pengelolaan hutan selama ini
atau siapa sebenarnya yang mempunyai hak yang lebih untuk mengatur hutan di
antara satu kelompok dibandingkan kelompok lainnya sudah sering kita dengar.
Umumnya dan itu yang amat sering menjadi narasumber pembahasan di antaranya
para akademisi, anggota dewan, birokrat, LSM yang diidentikan mewakili
masyarakat sekitar hutan atau tokoh lainnya, yang jelas di mana suaramu wahai
para rimbawan.
Memang terbuka diskusi
untuk menyamakan persepsi kelompok manusia yang manakah yang dapat dikelompokan
pada kumpulan rimbawan pekerja, dalam hal ini penulis membatasi diri pada
sekelompok manusia baik mempunyai latar belakang pendidikan kehutanan ataupun
yang memang berkecimpung secara langsung pada suatu operasional pengelolaan
hutan baik pada kawasan pengelolaan hutan konservasi maupun hutan produksi di
mana secara langsung dan nyata mengimplementasikan pengelolaan hutan yang
sering sekali tidak sesederhana konsepsi-konsepsi yang sudah dituangkan di atas
kertas.
Dimana untuk menerapkan
kaidah-kaidah pengelolaan hutan banyak dimensi yang harus dipertimbangkan
secara teknis silvikultur, ekologis, ekonomis dan social kemasyarakatan. Jadi
apabila akhir-akhir ini para pakar, pemerhati hutan atau pihak lain yang merasa
terkait dengan hutan cukup ramai dan gencar membicarakan serta mengusulkan
berbagai pandangan dan pendapatnya tentang RUU Khutanan atau yang gencar
terdengan mengenai redistribusi asset. Tampaknya terdata sekelompok orang yang
sebenarnya merasakan, mendalami dan menghayati seluk-beluk aktifitas hutan,
selain tentunya masyarakat yang memang turun temurun hidup disitu, akan tetapi
tidak terdengar atau tidak berkomentarm yaitu apa yang penulis sebut kelompok
ferester pekerja. Padahal penulis mempunyai suatu keyakinan bahwa kelompok ini
mempunyai pemahaman yang multidimensi alias
merasakan secara langsung dari berbagai sisi kepentingan serta manfaat dan
fungsi hutan itu sendiri.
Memang analisisnya tidak
akan lengkap ulasan para pakar perguruan tinggi atau pihak yang merasa pakar
kehutanan tidak akan sepeka dan sedetail pengetahuan masyarakat setempat dalam
mendalami arti pentingnya suatu kawasan hutan. Akan tetapi kelompok ini sebagai
pihak yang pernah mendapat tempaan teori kampus
rasanya akan lebih membumi, mengingat mereka telah
mengimplementasikannya pada praktek keseharian, dimana diyakini bahwa teori
tanpa praktek sering sekali mengawang-awang atau praktek tanpa dukungan teori
sering sekali tersandung-sandung, nah kelompok ini telah mengalami kedua hal
tersebut. Demikian pula kepekaan dan keterikatan kelompok ini, walaupun
tentunya akan akalah jauh dibandingkan kelompok lainnya, akan tetapi sebagai
anggota masyarakat yang secara nyata hidup di tengah dinamika hutan dan
kehidupan yang melingkupi sekitarnya tentunya akan merasakan apapun kebijakan
yang akan mempengaruhi dinamika yang selama ini telah berlangsung di suatu
kawasan.
Namun di tengah ramainya
perbincangan banyak pihak tentang dunianya, kelompok ini sama sekali tidak
terdengar, berada pada arus yang mana atau barangkali berada pada tingkat
kepasrahan apapun yang bakal terjadi, terjadilah. Ironis sekali apabila
kenyataan seperti itu.
TENAGA
TEKNIS
Menilik riwayat pada
awal penetapan atau lebih tepatnya pembagian kawasan hutan pada periode tahun
70-an, dimana banyak pihak yang dipercaya atau mempunyai keberuntungan memperoleh
konsesi pengelolaan hutan dengan berbagai latar belakang alasan dan pemahaman
apa itu serta akan bagaimana hutan itu dikelola. Akhirnya jatuh pada banyak
kalangan yang boleh dikategorikan sebagai pedagang kayu ketimbang sebagai
pengusaha kehutanan. Hal ini banyak didasari kemudahan-kemudahan yang dapat
diperoleh dengan cara mengekspor log, dikarenakan tidak perlu adanya tambahan
investasi pendirian pabrik, rangkaian jaringan kerja cukup pendek, hingga
sirkulasi permodalan cepat, yang pada akhirnya keuntungan mudah diperoleh.
Kemudian pemerintah
mengeluarkan batasan atau larangan ekspor log dan kewajiban pembangunan
industri pengolah kayu di dalam negeri, walaupun sekarang kita tahu bahwa
terdapat ketidakseimbangan ratio kapasitas total pabrik dengan ketersediaan
bahan baku. Pada periode ini mulai teruji pada pedagang kayu yang sebelumnya
mendominasi pengelolaan hutan harus berubah karakter sebagai pengusaha
usahanya, karena tidak bisa dimungkiri bahwa keberadaan pabrik tidak dapat
dipisahkan dari keberadaan hutan itu sendiri.
Namun demikian yang
memang dari awalnya adalah pedagang kayu, ya tetap bersikap sebagai pedagang,
dimana pada kondisi apa yang lebih menguntungkan, maka secara perlahan maupun
terang-terangan akan mengalihkan basis usahanya dan meninggalkan perkayuan.
Disini terlihat pada pengelolaan hutan yang dilihat hanya sebagai objek
sirkulasi perputaran modal dalam waktu singkat tanpa harus memperhatikan
kelangsungan industri, konsepsi pengelolaan hutan atau kaidah lainnya.
Sebetulnya guna mengantisipasi
pengelolaan hutan tanpa konsepsi ini, pemerintah beberapa waktu lalu telah
mengeluarkan kewajiban penempatan tenaga teknis kehutanan pada operasional HPH,
sehingga diharapkan tenaga teknis ini dapat mewarnai pola pengelolaan yang
tidak semata melihat adanya potensi, kayu yang dapat ditebang. Melainkan lebih
jauh harus memandang tegakan kayu tersebut merupakan bagian tidak terpisahkan
dari keberadaan suatu kawasan secara keseluruhan yang secara teoritis terdapat
teknik ataupun metode pengaturan yang dapat menunjang keberlanjutan fungsi
hutan baik sebagai lahan usaha dalam arti aspek ekonomi, fungsi social, fungsi
ekologis maupun dalam rangka menunjang kebanggaan sebagai Negara tropis yang
memiliki kawasan hutan yang menjadi sorotan dunia.
Dan sebetulnya diyakini
para tenaga teknis ini sudah cukup mendapat bekal untuk menerapkan
kaidah-kaidah yang telah sekian tahun lamanya mereka pelajari di bangku kuliah.
Namun demikian terdapat factor yang dapat menentukan keberhasilan penerapan
teori atau konsepsi pada prakteknya di lapangan, di antaranya dipengaruhi
bahkan barangkali ditentukan oleh dua factor dominant yaitu : kemampuan tenaga
teknis ini untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian antara teori, peraturan atau
perundangan dan kondisi fisik lapangan yang sering sekali tidak berada pada
kondisi ideal memberlakukan suatu konsepsi, demikian juga yang tidak kalah
menentukan adalah komitmen pemilik perusahaan.
Karena selengkap apapun
konsepsi pengelolaan yang akan dikembangkan para tenaga teknis ini tanpa
didukung pemilik perusahaan, maka itu hanyalah sebuah mimpi yang tidak pernah
akan terwujud. Jadi di sini jelas terlihat jalinan komitmen antara pemilik
denga kepiawaian para tenaga teknis, yang sebetulnya bagi para pengusaha
perkayuan yang memang sejak awal akan berkiprah sebagai pengusaha kayu jangka
panjang, mereka ini melihat tidak hanya adanya ketentuan penempatan tenaga
teknis ini, melainkan dilihat dari sisi kepentingan kelangsungan bisnisnya akan
banyak dipengaruhi oleh kemampuan tenaga teknisnya.
Lebih jauh lagi dapat
dikatakan bahwa akumulasi keberhasilan pengelolaan hutan di Indonesia secara
keseluruhan berada pada pundak tenaga teknis lapangan atau dengan kata lain
para rimbawan pekerja. Hal ini bisa dilihat dari sisi pemerintah dengan mengeluarkan
peraturan harus adanya penempatan tenaga teknis yang dapat diartikan pemerintah
berharga dengan adanya penempatan ini terdapat tenaga yang mampu dan mau
menterjemahkan peraturan pemerintah di tingkat aplikasi lapangan. Demikian pula
pada sisi bisnis pengusaha perkayuan yang berorientasi jangka panjang sangat
berharap banyak pada kepiawaian tenaga ini dalam mengemudikan usahanya, hingga
tidak hanya dapat memenuhi ketentuan-ketentuan pemerintah juga sekaligus bisa
mengelola bisnisnya di bidang kehutanan yang memang mempunyai kekhasan.
Tentunya terdapat pihak
lain yang juga menaruh harapan dalam menterjemahkan keterkaitan satu aspek
dengan aspek lainnya adalah masyarakat sekitar hutan, dalam hal ini para
rimbawan pekerja yang memang sehari-hari berada di kawasan itu tentunya akan
lebih dapat merasakan kebutuhan itu dibandingkanpihak lain yang berada jauh
dari lokasi tersebut, sehingga secara langsung
tidak langsung akan mempengaruhi kebijakan-kebijakan perusahaan yang
berkaitan dengan hal tersebut.
Memperhatikan demikian
besar peran rimbawan pekerja ini dalam
menentukan keberhasilan pengelolaan hutan di Indonesia atau Kaltim khususnya,
namun sangat ironis apabila dalam pembahasan-pembahasan kebijakan di bidang
kehutanan, kelompok ini tidak turut berdiskusi ataupun hasil jerih payak
kelompok ini tidak dipertimbangkan bagi penentuan atau pertimbanmgan bahwa
suatu areal baleh diperpanjang atau tidak.
Dimana lebih menonjol
keterkaitan pemilik dengan system politik yang sedang berkembang sehingga
menisbihkan peran dan usaha-usaha rimbawan pekerja ini guna mewujudkan
pengelolaan hutan yang berkelanjutan yang telah dijalaninya bertahun-tahun.
Hingga apabila hasil kerja terputus di tengah jalan dijalaninya karena
pertimbangan teknis, tapi hanya pertimbangan politis semata, lengkaplah sudah
hilangnya kebanggaan sebagai rimbawan. Padahal sangat jelas yang langsung
merasakan akibat adanya perubahan suatu kebijakan politis adalah para rimbawan
pekerja.
mmmm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar