Jumat, 01 Februari 2013

DIMANAKAH SUARA RIMBAWAN PEKERJA



Banyak kata-kata, komentar, statemen yang sering muncul dan terdengar dalam setahun terakhri namun terdapat dua kata atau padanan kata yang popular diberbagai kalangan masyarakat yaitu reformasi dan krismon. Entah dipahami secara mendalam atau hanya sekedar mengikuti trend, berbincang-bincang ataupun pembahasan para pengamat politik, pelaku politik atau sumber manapun asalnya yang jelas dua kata tersebut sangat mempengaruhi berbagai sendi kehidupan pada berbagai kalangan termasuk sector kehutanan.
Apabila kita simak perbincangan maupun pembahasan bagaimana hutan Indonesia atau Kalimantan seharusnya dikelola, apa yang menjadi kesalahan pengelolaan hutan selama ini atau siapa sebenarnya yang mempunyai hak yang lebih untuk mengatur hutan di antara satu kelompok dibandingkan kelompok lainnya sudah sering kita dengar. Umumnya dan itu yang amat sering menjadi narasumber pembahasan di antaranya para akademisi, anggota dewan, birokrat, LSM yang diidentikan mewakili masyarakat sekitar hutan atau tokoh lainnya, yang jelas di mana suaramu wahai para rimbawan.
Memang terbuka diskusi untuk menyamakan persepsi kelompok manusia yang manakah yang dapat dikelompokan pada kumpulan rimbawan pekerja, dalam hal ini penulis membatasi diri pada sekelompok manusia baik mempunyai latar belakang pendidikan kehutanan ataupun yang memang berkecimpung secara langsung pada suatu operasional pengelolaan hutan baik pada kawasan pengelolaan hutan konservasi maupun hutan produksi di mana secara langsung dan nyata mengimplementasikan pengelolaan hutan yang sering sekali tidak sesederhana konsepsi-konsepsi yang sudah dituangkan di atas kertas.
Dimana untuk menerapkan kaidah-kaidah pengelolaan hutan banyak dimensi yang harus dipertimbangkan secara teknis silvikultur, ekologis, ekonomis dan social kemasyarakatan. Jadi apabila akhir-akhir ini para pakar, pemerhati hutan atau pihak lain yang merasa terkait dengan hutan cukup ramai dan gencar membicarakan serta mengusulkan berbagai pandangan dan pendapatnya tentang RUU Khutanan atau yang gencar terdengan mengenai redistribusi asset. Tampaknya terdata sekelompok orang yang sebenarnya merasakan, mendalami dan menghayati seluk-beluk aktifitas hutan, selain tentunya masyarakat yang memang turun temurun hidup disitu, akan tetapi tidak terdengar atau tidak berkomentarm yaitu apa yang penulis sebut kelompok ferester pekerja. Padahal penulis mempunyai suatu keyakinan bahwa kelompok ini mempunyai pemahaman  yang multidimensi alias merasakan secara langsung dari berbagai sisi kepentingan serta manfaat dan fungsi hutan itu sendiri.
Memang analisisnya tidak akan lengkap ulasan para pakar perguruan tinggi atau pihak yang merasa pakar kehutanan tidak akan sepeka dan sedetail pengetahuan masyarakat setempat dalam mendalami arti pentingnya suatu kawasan hutan. Akan tetapi kelompok ini sebagai pihak yang pernah mendapat tempaan teori kampus  rasanya akan lebih membumi, mengingat mereka telah mengimplementasikannya pada praktek keseharian, dimana diyakini bahwa teori tanpa praktek sering sekali mengawang-awang atau praktek tanpa dukungan teori sering sekali tersandung-sandung, nah kelompok ini telah mengalami kedua hal tersebut. Demikian pula kepekaan dan keterikatan kelompok ini, walaupun tentunya akan akalah jauh dibandingkan kelompok lainnya, akan tetapi sebagai anggota masyarakat yang secara nyata hidup di tengah dinamika hutan dan kehidupan yang melingkupi sekitarnya tentunya akan merasakan apapun kebijakan yang akan mempengaruhi dinamika yang selama ini telah berlangsung di suatu kawasan.
Namun di tengah ramainya perbincangan banyak pihak tentang dunianya, kelompok ini sama sekali tidak terdengar, berada pada arus yang mana atau barangkali berada pada tingkat kepasrahan apapun yang bakal terjadi, terjadilah. Ironis sekali apabila kenyataan seperti itu.
TENAGA TEKNIS
Menilik riwayat pada awal penetapan atau lebih tepatnya pembagian kawasan hutan pada periode tahun 70-an, dimana banyak pihak yang dipercaya atau mempunyai keberuntungan memperoleh konsesi pengelolaan hutan dengan berbagai latar belakang alasan dan pemahaman apa itu serta akan bagaimana hutan itu dikelola. Akhirnya jatuh pada banyak kalangan yang boleh dikategorikan sebagai pedagang kayu ketimbang sebagai pengusaha kehutanan. Hal ini banyak didasari kemudahan-kemudahan yang dapat diperoleh dengan cara mengekspor log, dikarenakan tidak perlu adanya tambahan investasi pendirian pabrik, rangkaian jaringan kerja cukup pendek, hingga sirkulasi permodalan cepat, yang pada akhirnya keuntungan mudah diperoleh.
Kemudian pemerintah mengeluarkan batasan atau larangan ekspor log dan kewajiban pembangunan industri pengolah kayu di dalam negeri, walaupun sekarang kita tahu bahwa terdapat ketidakseimbangan ratio kapasitas total pabrik dengan ketersediaan bahan baku. Pada periode ini mulai teruji pada pedagang kayu yang sebelumnya mendominasi pengelolaan hutan harus berubah karakter sebagai pengusaha usahanya, karena tidak bisa dimungkiri bahwa keberadaan pabrik tidak dapat dipisahkan dari keberadaan hutan itu sendiri.
Namun demikian yang memang dari awalnya adalah pedagang kayu, ya tetap bersikap sebagai pedagang, dimana pada kondisi apa yang lebih menguntungkan, maka secara perlahan maupun terang-terangan akan mengalihkan basis usahanya dan meninggalkan perkayuan. Disini terlihat pada pengelolaan hutan yang dilihat hanya sebagai objek sirkulasi perputaran modal dalam waktu singkat tanpa harus memperhatikan kelangsungan industri, konsepsi pengelolaan hutan atau kaidah lainnya.
Sebetulnya guna mengantisipasi pengelolaan hutan tanpa konsepsi ini, pemerintah beberapa waktu lalu telah mengeluarkan kewajiban penempatan tenaga teknis kehutanan pada operasional HPH, sehingga diharapkan tenaga teknis ini dapat mewarnai pola pengelolaan yang tidak semata melihat adanya potensi, kayu yang dapat ditebang. Melainkan lebih jauh harus memandang tegakan kayu tersebut merupakan bagian tidak terpisahkan dari keberadaan suatu kawasan secara keseluruhan yang secara teoritis terdapat teknik ataupun metode pengaturan yang dapat menunjang keberlanjutan fungsi hutan baik sebagai lahan usaha dalam arti aspek ekonomi, fungsi social, fungsi ekologis maupun dalam rangka menunjang kebanggaan sebagai Negara tropis yang memiliki kawasan hutan yang menjadi sorotan dunia.
Dan sebetulnya diyakini para tenaga teknis ini sudah cukup mendapat bekal untuk menerapkan kaidah-kaidah yang telah sekian tahun lamanya mereka pelajari di bangku kuliah. Namun demikian terdapat factor yang dapat menentukan keberhasilan penerapan teori atau konsepsi pada prakteknya di lapangan, di antaranya dipengaruhi bahkan barangkali ditentukan oleh dua factor dominant yaitu : kemampuan tenaga teknis ini untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian antara teori, peraturan atau perundangan dan kondisi fisik lapangan yang sering sekali tidak berada pada kondisi ideal memberlakukan suatu konsepsi, demikian juga yang tidak kalah menentukan adalah komitmen pemilik perusahaan.
Karena selengkap apapun konsepsi pengelolaan yang akan dikembangkan para tenaga teknis ini tanpa didukung pemilik perusahaan, maka itu hanyalah sebuah mimpi yang tidak pernah akan terwujud. Jadi di sini jelas terlihat jalinan komitmen antara pemilik denga kepiawaian para tenaga teknis, yang sebetulnya bagi para pengusaha perkayuan yang memang sejak awal akan berkiprah sebagai pengusaha kayu jangka panjang, mereka ini melihat tidak hanya adanya ketentuan penempatan tenaga teknis ini, melainkan dilihat dari sisi kepentingan kelangsungan bisnisnya akan banyak dipengaruhi oleh kemampuan tenaga teknisnya.
Lebih jauh lagi dapat dikatakan bahwa akumulasi keberhasilan pengelolaan hutan di Indonesia secara keseluruhan berada pada pundak tenaga teknis lapangan atau dengan kata lain para rimbawan pekerja. Hal ini bisa dilihat dari sisi pemerintah dengan mengeluarkan peraturan harus adanya penempatan tenaga teknis yang dapat diartikan pemerintah berharga dengan adanya penempatan ini terdapat tenaga yang mampu dan mau menterjemahkan peraturan pemerintah di tingkat aplikasi lapangan. Demikian pula pada sisi bisnis pengusaha perkayuan yang berorientasi jangka panjang sangat berharap banyak pada kepiawaian tenaga ini dalam mengemudikan usahanya, hingga tidak hanya dapat memenuhi ketentuan-ketentuan pemerintah juga sekaligus bisa mengelola bisnisnya di bidang kehutanan yang memang mempunyai kekhasan.
Tentunya terdapat pihak lain yang juga menaruh harapan dalam menterjemahkan keterkaitan satu aspek dengan aspek lainnya adalah masyarakat sekitar hutan, dalam hal ini para rimbawan pekerja yang memang sehari-hari berada di kawasan itu tentunya akan lebih dapat merasakan kebutuhan itu dibandingkanpihak lain yang berada jauh dari lokasi tersebut, sehingga secara langsung  tidak langsung akan mempengaruhi kebijakan-kebijakan perusahaan yang berkaitan dengan hal tersebut.
Memperhatikan demikian besar peran rimbawan pekerja ini  dalam menentukan keberhasilan pengelolaan hutan di Indonesia atau Kaltim khususnya, namun sangat ironis apabila dalam pembahasan-pembahasan kebijakan di bidang kehutanan, kelompok ini tidak turut berdiskusi ataupun hasil jerih payak kelompok ini tidak dipertimbangkan bagi penentuan atau pertimbanmgan bahwa suatu areal baleh diperpanjang atau tidak.
Dimana lebih menonjol keterkaitan pemilik dengan system politik yang sedang berkembang sehingga menisbihkan peran dan usaha-usaha rimbawan pekerja ini guna mewujudkan pengelolaan hutan yang berkelanjutan yang telah dijalaninya bertahun-tahun. Hingga apabila hasil kerja terputus di tengah jalan dijalaninya karena pertimbangan teknis, tapi hanya pertimbangan politis semata, lengkaplah sudah hilangnya kebanggaan sebagai rimbawan. Padahal sangat jelas yang langsung merasakan akibat adanya perubahan suatu kebijakan politis adalah para rimbawan pekerja.
mmmm




Tidak ada komentar:

Posting Komentar