SATWA
TERANCAM (RTE) :
BAB I.PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Habitat satwa
liar merupakan tempat hidup satwa liar yang mencakup berbagai komponen
lingkungan di tempat tersebut. Komponen lingkungan pada habitat satwa terdiri
atas komponen biotik (hayati) dan komponen abiotik (non-hayati atau benda mati)
yang dapat mempengaruhi hidup dan kehidupan satwa liar. Tumbuhan, baik berupa
pohon maupun bukan pohon merupakan bagian dari komponen biotik yang berperan
sebagai produsen dalam jaringan ekologi dan mempunyai peran yang lainnya dalam
suatu habitat satwa. Dari segi peran komponen habitat, maka pohon dan tumbuhan
lainnya berfungsi sebagai sumber pakan, tempat berteduh dari sinar matahari dan
hujan lebat, tempat bersarang dan fungsi pengendali iklim mikro habitat.
Daya dukung lingkungan bagi habitat satwa liar harus
dijaga dan ditingkatkan agar bisa menjadi tempat yang layak bagi hidup dan
tumbuhnya satwa. Faktor yang mempengaruhi daya dukung lingkungan habitat satwa
antara lain : keberadaan sumber pakan, tempat bernaung/berteduh, tempat
bersarang, keberadaan sumber air, luasan ruang atau wilayah jelajah (home
range), serta keamanan dan kenyamanan lingkungan.
Satwa yang termasuk kedalam
kelompok (RTE) merupakan spesies yang telah dinyatakan dalam daftar spesies satwa yang
tergolong pada kelompok RTE (RARE, THREATENED DAN ENDANGERED) merupakan suatu
spesies yang mengalami keterancaman keberadaannya.
BAB II. RUANG LINGKUP DAN BATASAN
2.1.
Dasar Perlindungan
Berbagai jenis
satwa hidup dan berkembang biak di alam bebas, utamanya pada kawasan hutan di
seluruh dunia, apalagi kawasan hutan hujan tropis Indonesia yang menjadi bagian dari
habitat satwa yang memiliki keanekaragaman yang tinggi. Dalam rangka menjaga dan melestarikan keberadaan
berbagai satwa dimaksud, maka terdapat beberapa institusi dan aturan
perundangan yang dijadikan rujukan, antara lain :
A.
IUCN
International
Union for Conservation of Nature and Natural Resources disingkat IUCN terkadang juga disebut dengan World Conservation Union adalah sebuah organisasi
internasional yang didedikasikan untuk konservasi sumber daya alam.
Badan ini didirikan pada 1948 dan berpusat
di Gland,
Switzerland. IUCN beranggotakan 78 negara, 112 badan pemerintah,
735 organisasi non-pemerintah dan ribuan ahli dan ilmuwan dari 181 negara.
Tujuan IUCN adalah untuk membantu komunitas di seluruh dunia dalm konservasi alam.
Kategori konservasi IUCN dikeluarkan IUCN untuk membantu dalam melaukan klasifikasi terhadap
spesies-spesies yang terancam kepunahan. Kategori konservasi IUCN telah
mengalami beberapa kali revisi :
·
Versi 1.0 : Mace and Lande (1991). Dokumen pertama yang
mendiskusikan aturan baru untuk klasifikasi.
·
Versi 2.0 : Mace et al. (1992). Revisi besar terhadap
versi 1.0.
·
Versi 2.1 : IUCN (1993)
·
Versi 2.2 : Mace and Stuart (1994)
·
Versi 2.3 : IUCN (1994)
·
Versi
3.0 : IUCN/SSC Criteria Review Working Group (1999)
·
Versi 3.1 : IUCN (2001). Kategori konservasi versi 3.1
Kategori konservasi versi
3.1
1.
Punah ( Extinct ; EX )
Sebuah takson dinyatakan punah apabila tidak ada keraguan
lagi bahwa individu terakhir sudah mati. Sebuah Takson diasumsikan punah ketika
survey secara terus menerus pada habitat yang diketahui pada rentang waktu
tertentu gagal untuk menemukan satu individu. Survey dilakukan sesuai denga
siklus kehidupan dari spesies yang dipelajari.
2. Punah di alam liar (Extinct
in the wild ; EW )
Sebuah takson
dinyatakan punah di alam liar ketika taxon tersebut diketahui hanya bisa
ditemui di penangkaran tertentu.
3. Sangat terancam akan
kepunahan (Critically endangered ; CR)
Sebuah takson
dinyatakan sangat terancam akan kepunahan ketika dinyatakan cocok dengan salah
satu kriteria dari A sampai E untuk sangat terancam akan kepunahan (bagian V)
sehingga dianggap sedang menghadapi resiko tinggi kepunahan di alam liar.
4.
Terancam akan kepunahan (Endangered; EN)
Sebuah takson dinyatakan terancam akan kepunahan ketika
dinyatakan cocok dengan salah satu kriteria dari A sampai E untuk terancam akan
kepunahan (bagian V), sehingga dianggap sedang menghadapi resiko tinggi
kepunahan di alam liar.
5.
Rawan ( Vulnerable; VU)
Sebuah takson dinyatakan rawan ketika bukti
mengindikasikan cocok dengan salah satu kriteria dari A sampai E untuk rawan
(bagian V), sehingga dianggap sedang menghadapi resiko tinggi kepunahan di alam
liar.
6. Mendekati terancam (Near
threatened: NT)
Sebuah takson
dinyatakan mendekati terancam ketika dievaluasi, tidak memenuhi kategori sangat
terancam kan kepunahan, terancam akan kepunahan atau rawan untuk sekarang ini,
tetapi mendekati kualifikasi atau hampir memenuhi kategori terancam pada waktu
dekat ini.
7. Resiko rendah (Least Consern;
LC)
Sebuah takson
dinyatakan beresiko rendah ketika dievalusi, tidak memenuhi kriteria sangat
terancam akan kepunahan, terancam akan kepunahan, rawan atau mendekati
terancam.
8.
Informasi kurang (Data Deficient; DD)
Sebuah takson dinyatakan “infomasi kurang” ketika
informasi yang ada kurang memadai untuk membuat perkiraan akan resiko
kepunahannya berdasarkan distribusi dan status populasi.
9. Tidak dievaluasi (Not
evaluated; NE)
Sebuah takson dinyatakan ”tidak dievaluasi” ketika tidak
dievaluasi untuk kriteria-kriteria di atas.
B.
CITES
CITES (Convention on
International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) atau konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies
terancam adalah perjanjian internasional antarnegara yang disusun berdasarkan
resolusi sidang anggota World Conservation Union (IUCN) tahun 1963. konvensi
bertujuan melindungi tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan internasional
spesimen tumbuhan dan satwa liar yang mengakibatkan kelestarian spesies
tersebut terancam. Selain itu, CITES menetapkan berbagai tingkatan proteksi
untuk lebih dari 33.000 spesies terancam.
Tidak ada satu pun spesies terancam dalam perlindungan
CITES yang menjadi punah sejak CITES diberlakukan 1975. pemerintah Indonesia
meratifikasi CITES dengan Keputusan Pemerintah No. 43 Tahun 1978.
2.2.
HABITAT
Habitat adalah tempat suatu makhluk hidup. Semua makhluk
hidup mempunyai tempat hidup yang disebut habitat (Odum, 1993). Habitat adalah
suatu lingkungan dengan kondisi tertentu dimana suatu spesies atau komunitas
hidup. Habitat yang baik akan mendukung perkembangbiakan organisme yang hidup
di dalamnya secara normal. Habitat memiliki kapasitas tertentu untuk mendukung
pertumbuhan populasi suatu organisme. Kapasitas untuk mendukung organisme
disebut daya dukung habitat. Kalau kita ingin mencari atau ingin berjumpa
dengan suatu organisme tertentu, maka harus tahu lebih dahulu tempat hidupnya
(habitat), sehingga ke habitat itulah kita pergi untuk mencari atau berjumpa
dengan organisme tersebut. Oleh sebab itu, habitat suatu organisme bisa juga
disebut alamat organisme itu.
Semua organisme atau makhluk hidup mempunyai habitat atau
tempat hidup, contohnya, habitat paus dan ikan hiu adalah air laut, habitat
ikan mas adalah air tawar, habitat buaya muara adalah perairan payau, habitat
monyet dan harimau adalah hutan, habitat pohon bakau adalah daerah pasang
surut, habitat pohon butun dan ketapang adalah hutan pantai, habitat cemara
gunung dan waru gunung adalah hutan dataran tinggi, habitat manggis adalah
hutan dataran rendah dan hutan rawa, habitat ramin adalah hutan gambut dan
daerah dataran rendah lainnya, pohon-pohon anggota famili Dipterocarpaceae pada
umumnya hidup di daerah dataran rendah, pohon aren habitatnya di tanah dataran
rendah hingga daerah pegunungan dan
pohon durian habitatnya di dataran rendah.
Istilah habitat dapat juga dipakai untuk menunjukkan
tempat tumbuh sekelompok organisme dari berbagai spesies yang membentuk suatu
komunitas. Sebagai contoh untuk menyebut tempat hidup suatu padang rumput dapat
menggunakan habitat padang rumput, untuk hutan mangrove dapat menggunakan
istilah habitat hutan mangrove, untuk hutan pantai dapat menggunakan habitat
hutan pantai, untuk hutan rawa dapat menggunakan habitat hutan rawa dan lain
sebagainya. Dalam hal seperti ini, maka habitat sekelompok organisme mencakup
organisme lain yang merupakan komponen lingkungan (komponen lingkungan biotik)
dan komponen lingkungan abiotik.
Dalam hidupnya, satwa liar membutuhkan pakan, air dan
tempat berlindung dari panas dan pemangsa serta tempat untuk bersarang, beristirahat
dan memelihara anakanya. Seluruh kebutuhan tersebut diperoleh dari
lingkungannya atau habitat dimana satwa liar hidup dan berkembang biak.
Dilihat dari komposisinya di alam, habitat satwa liar
terdiri dari 3 komponen utama yang satu
sama lain saling berkaitan,yaitu :
1.
Komponen biotik meliputi : vegetasi, satwaliar dan
organisme mikro
2.
komponen fisik meliputi : air, tanah, iklim, topografi,
dll.
3.
Komponen kimia : meliputi seluruh unsur kimia yang
terkandung dalam komponen biotik mauapun komponen fisik.
Secara fungsional, seluruh komponen habitat diatas
menyediakan pakan, air dan tempat berlindung bagi satwa liar. Jumlah dan
kualitas ketiga sumber daya fungsional tersebut akan membatasi kemampuan
habitat untuk mendukung populasi satwa liar. Komponen fisik habitat (iklim,
topografi, tanah dan air) akan menentukan kondisi fisik habitat yang merupakan
faktor pembatas bagi ketersediaan komponen biotik di habitat tersebut.
Di lingkungan dengan kondisi fisik yang ekstrim,
aktivitas biologi relatif kurang berkembang, sedangkan di lingkungan yang
kondisi fisiknya sesuai, interaksi dalam ekosistem, habitat secara efektif akan
membatasi pertumbuhan populasi satwa liar. Suatu habitat yang digemari oleh
sesuatu jenis satwa belum tentu sesuai untuk kehidupan jenis satwa yang lain
karena pada dasarnya setiap jenis satwa memiliki preferensi habitat yang
berbeda-beda.
Berkurangnya habitat disebabkan karena beberapa faktor.
Ada tiga faktor utama yang dinilai sangat mempengaruhi terhadap perubahan
habitat, yaitu : aktivitas manusia, satwa liar dan bencana alam.
Populasi satwa liar di alam dapat naik, turun atau
stabil. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah kelahiran (natalitas),
kematian (mortalitas), imigrasi dan emigrasi. Selain itu dipengaruhi juga oleh faktor-faktor
ekologis habitatnya, yaitu : ketersediaan pakan, air, tempat berlindung,
perubahan vegetasi, iklim, pemangsaan, penyakit, bencana alam, dan aktivitas
manusia (vandalisme)
BAB
III. JENIS SATWA KELOMPOK RTE
Dengan mengacu pada
pengaturan/pengelompokan satwa yang telah diterbitkan oleh IUCN, maka jenis
satwa yang sering ditemukan di kawasan hutan bagian utara Kalimantan Timur,
antara lain;
3.1.Jenis Mamalia
No.
|
Nama Lokal
|
Nama Ilmiah
|
Status Konservasi
(IUCN)
|
1
|
Rindil
bulan
|
Echinosorex gymnurus
|
LC
|
2
|
Tupai
akar
|
Tupaia glis
|
LC
|
3
|
Tupai
gunung
|
Tupaia montana
|
LC
|
4
|
Tupai
tanah
|
Tupaia tana
|
LC
|
5
|
Trenggiling
peusing
|
Manis javanica
|
EN
|
6
|
Kukang
bukang
|
Nycticebus coucang
|
VU
|
7
|
Lutung
banggat
|
Presbytis hosei
|
VU
|
8
|
Monyet
ekor panjang
|
Macaca fascicularis
|
LC
|
9
|
Monyet
beruk
|
Macaca nemestrina
|
VU
|
10
|
Owa
kalawat
|
Hylobates muelleri
|
EN
|
11
|
Jelarang
bilalang
|
Ratufa affinis
|
NT
|
12
|
Bajing
tiga warna
|
Callosciurus prevostii
|
LC
|
13
|
Bajing
kelabu
|
Callosciurus orestes
|
LC
|
14
|
Bajing
kelapa
|
Callosciurus notatus
|
LC
|
15
|
Bajing
telinga-totol
|
Callosciurus adamsi
|
VU
|
16
|
Bajing
ekor kuda
|
Sundasciurus hippurus
|
NT
|
17
|
Bajing
ekor-pendek
|
Sundasciurus lowii
|
LC
|
18
|
Bajing
bancirot
|
Sundasciurus tenuis
|
LC
|
19
|
Bajing gunung
|
Dremomys
everetti
|
LC
|
20
|
Bajing kerdil telinga kuncung
|
Exilisciurus
whiteheadi
|
LC
|
21
|
Bajing kerdil dataran rendah
|
Exilisciurus
exilis
|
DD
|
22
|
Bajing kerdil perut merah
|
Glyphotes
simus
|
DD
|
23
|
Bajing tanah ekor tegak
|
Rheithrosciurus
macrotis
|
VU
|
24
|
Bajing
terbang coklat-merah
|
Aeromys
thomasi
|
DD
|
25
|
Landak raya
|
Hystrix
brachyura
|
LC
|
26
|
Landak butun
|
Hystrix
crassispinis
|
LC
|
27
|
Beruang madu
|
Helarctos
malayanus
|
VU
|
28
|
Musang
kepala-putih
|
Mustela nudipes
|
LC
|
29
|
Teledu sigung
|
Mydaus
javanensis
|
LC
|
30
|
Berang-berang
wregul
|
Lutrogale
perspicillata
|
VU
|
31
|
Sero ambrang
|
Aonyx cinerea
|
VU
|
32
|
Tenggalung
malaya
|
Viverra
tangalunga
|
LC
|
33
|
Musang galing
|
Paguma larvata
|
LC
|
34
|
Musang luwak
|
Paradoxurus
hermaphroditus
|
LC
|
35
|
Macan dahan
|
Neofelis
nebulosa
|
VU
|
36
|
Kucing tandang
|
Felis planiceps
|
EN
|
37
|
Babi berjenggot
|
Sus barbatus
|
VU
|
38
|
Pelanduk kancil
|
Tragulus
javanicus
|
LC
|
39
|
Pelanduk napu
|
Tragulus napu
|
LC
|
40
|
Kijang muncak
|
Muntiacus
muntjac
|
LC
|
41
|
Kijang kuning
|
Muntiacus
atherodes
|
LC
|
42
|
Rusa sambar
|
Cervus unicolor
|
VU
|
43
|
Kucing-kucingan
|
Felidae
|
|
44
|
musang-musangan
|
Mustelidae
|
|
45
|
Kelelawar
|
Chiroptera
|
|
46
|
Tupai
|
Tupaia sp.
|
|
47
|
Berang-berang
|
Lutra sp.
|
|
48
|
Kalong besar
|
Pteropus
vampyrus
|
|
49
|
Kubung malaya
|
Cynocephalus
variegatus
|
LC
|
50
|
Krabuku ingkat
|
Tarsius
bancanus
|
VU
|
51
|
Angkis ekor
panjang
|
Trichys
fasciculata
|
LC
|
52
|
Musang air
|
Cynogale
bennettii
|
EN
|
53
|
Musang belang
|
Diplogale
derbyanus
|
VU
|
54
|
Linsang linsang
(tatukat)
|
Prionodon
linsang
|
LC
|
55
|
Musang-musangan
|
Viverridae
|
|
3.2.
Jenis Burung
No.
|
Nama Lokal
|
Nama Ilmiah
|
Status Konservasi
(IUCN)
|
1
|
Bambangan hitam
|
Dupetor
flavicollis
|
|
2
|
Bangau storm
|
Ciconia stormi
|
EN
|
3
|
Elang tiram
|
Pandion
haliaetus
|
|
4
|
Baza jerdon
|
Aviceda jerdoni
|
|
5
|
Elang kelelawar
|
Macheiramphus
alcinus
|
|
6
|
Elang bondol
|
Haliastur indus
|
|
7
|
Elang-laut
perut-putih
|
Haliaeetus
leucogaster
|
|
8
|
Elang-ikan
kecil
|
Ichthyophaga
humilis
|
NT
|
9
|
Elang-ikan
kepala-kelabu
|
Ichthyophaga
ichthyaetus
|
NT
|
10
|
Elang-ular
Kinabalu
|
Spilornis
kinabaluensis
|
VU
|
11
|
Elang-alap
jambul
|
Accipiter
trivirgatus
|
|
12
|
Elang hitam
|
Ictinaetus
malayensis
|
|
13
|
Elang wallace
|
Spizaetus nanus
|
VU
|
14
|
Alap-alap
capung
|
Microhierax
fringillarius
|
|
15
|
Alap-alap
dahi-putih
|
Microhierax
latifrons
|
|
16
|
Alap-alap macan
|
Falco severus
|
|
17
|
Alap-alap kawah
|
Falco
peregrinus
|
|
18
|
Puyuh hitam
|
Melanoperdix
nigra
|
VU
|
19
|
Puyuh sengayan
|
Rollulus
rouloul
|
NT
|
20
|
Sempidan
Kalimantan
|
Lophura bulweri
|
VU
|
21
|
Kuau raja
|
Argusianus
argus
|
NT
|
22
|
Kareo padi
|
Amaurornis
phoenicurus
|
|
23
|
Kedidi Temminck
|
Calidris
temminckii
|
|
24
|
Punai lengguak
|
Treron
curvirostra
|
|
25
|
Punai bakau
|
Treron
fulvicollis
|
NT
|
26
|
Punai kecil
|
Treron olax
|
|
27
|
Punai gading
|
Treron vernans
|
|
28
|
Punai besar
|
Treron capellei
|
VU
|
29
|
Pergam hijau
|
Ducula aenea
|
|
30
|
Pergam gunung
|
Ducula badia
|
|
31
|
Pergam kelabu
|
Ducula
pickeringi
|
VU
|
32
|
Delimukan
zamrud
|
Chalcophaps
indica
|
|
33
|
Betet
ekor-panjang
|
Psittacula
longicauda
|
NT
|
34
|
Serindit melayu
|
Loriculus
galgulus
|
|
35
|
Wiwik Lurik
|
Cacomantis
sonneratii
|
|
36
|
Wiwik kelabu
|
Cacomantis
merulinus
|
|
37
|
Wiwik uncuing
|
Cuculus
sepulcralis
|
|
38
|
Kedasi hitam
|
Surniculus
lugubris
|
|
39
|
Kadalan beruang
|
Phaenicophaeus
diardi
|
NT
|
40
|
Kadalan selaya
|
Phaenicophaeus
chlorophaeus
|
|
41
|
Kadalan kembang
|
Phaenicophaeus
javanicus
|
|
42
|
Kadalan birah
|
Phaenicophaeus
curvirostris
|
|
43
|
Bubut besar
|
Centropus
sinensis
|
|
44
|
Bubut
alang-alang
|
Centropus
bengalensis
|
|
45
|
Beluk ketupa
|
Ketupa ketupu
|
|
46
|
Beluk-watu
gunung
|
Glaucidium
brodiei
|
|
47
|
Kukuk beluk
|
Strix
leptogrammica
|
|
48
|
Walet
sarang-putih
|
Collocalia
fuciphaga
|
|
49
|
Walet sapi
|
Collocalia
esculenta
|
|
50
|
Kapinis-jarum Asia
|
Hirundapus
caudacutus
|
|
51
|
Kapinis-jarum
kecil
|
Rhaphidura
leucopygialis
|
|
52
|
Tepekong
rangkang
|
Hemiprocne
comata
|
|
53
|
Luntur kasumba
|
Harpactes
kasumba
|
NT
|
54
|
Luntur
Kalimantan
|
Harpactes
whiteheadi
|
NT
|
55
|
Luntur
tunggir-coklat
|
Harpactes
orrhophaeus
|
NT
|
56
|
Luntur putri
|
Harpactes
duvaucelii
|
NT
|
57
|
Luntur harimau
|
Harpactes
oreskios
|
|
58
|
Raja-udang
meninting
|
Alcedo
meninting
|
|
59
|
Raja-udang
kalung-biru
|
Alcedo euryzona
|
VU
|
60
|
Udang api
|
Ceix erithacus
|
|
61
|
Udang
punggung-merah
|
Ceix rufidorsa
|
|
62
|
Pekaka emas
|
Pelargopsis
capensis
|
|
63
|
Cekakak batu
|
Lacedo
pulchella
|
|
64
|
Cekakak Cina
|
Halcyon pileata
|
|
65
|
Cekakak sungai
|
Halcyon chloris
|
|
66
|
Cekakak-hutan
melayu
|
Actenoides
concretus
|
NT
|
67
|
Cirik-cirik
kumbang
|
Nyctyornis
amictus
|
|
68
|
Enggang
klihingan
|
Anorrhinus
galeritus
|
|
69
|
Enggang jambul
|
Aceros comatus
|
NT
|
70
|
Julang
jambul-hitam
|
Aceros
corrugatus
|
NT
|
71
|
Julang emas
|
Aceros
undulatus
|
|
72
|
Kangkareng
hitam
|
Anthracoceros
malayanus
|
NT
|
73
|
Kangkareng
perut-putih
|
Anthracoceros
albirostris
|
|
74
|
Rangkong badak
|
Buceros
rhinoceros
|
NT
|
75
|
Rangkong gading
|
Buceros vigil
|
NT
|
76
|
Takur gedang
|
Megalaima
chrysopogon
|
NT
|
77
|
Takut tutut
|
Megalaima
rafflesii
|
NT
|
78
|
Takur gunung
|
Megalaima
monticola
|
|
79
|
Takur tenggeret
|
Megalaima
australis
|
|
80
|
Takur ampis
|
Calorhamphus
fuliginosus
|
|
81
|
Pemandu-lebah Asia
|
Indicator
archipelagicus
|
NT
|
82
|
Pelatuk
sayap-merah
|
Picus puniceus
|
|
83
|
Pelatuk
kumis-kelabu
|
Picus mentalis
|
|
84
|
Pelatuk merah
|
Picus miniaceus
|
|
85
|
Pelatuk Raffles
|
Dinopium
rafflesi
|
NT
|
86
|
Caladi batu
|
Meiglyptes
tristis
|
|
87
|
Caladi badok
|
Meiglyptes
tukki
|
NT
|
88
|
Pelatuk
kelabu-besar
|
Mulleripicus
pulverulentus
|
VU
|
89
|
Pelatuk ayam
|
Dryocopus
javensis
|
|
90
|
Caladi belacan
|
Dendrocopus
canicapillus
|
|
91
|
Caladi tilik
|
Picoides
moluccensis
|
|
92
|
Pelatuk pangkas
|
Blythipicus
rubiginosus
|
|
93
|
Pelatuk kundang
|
Reinwardtipicus
validus
|
|
94
|
Madi kelam
|
Corydon
sumatranus
|
|
95
|
Sempur-hujan
sungai
|
Cymbirhyncus
macrorhynchos
|
|
96
|
Sempur-hujan
rimba
|
Eurylaimus
javanicus
|
|
97
|
Sempur-hujan
darat
|
Eurylaimus
ochromalus
|
NT
|
98
|
Madi-hijau
kecil
|
Calyptomena
viridis
|
NT
|
99
|
Madi-hijau
perut-biru
|
Calyptomena
hosii
|
NT
|
100
|
Paok
kepala-biru
|
Pitta baudii
|
VU
|
101
|
Paok delima
|
Pitta granatina
|
NT
|
102
|
Layang-layang
batu
|
|
|
103
|
Layang-layang
rumah
|
|
|
104
|
Jinjing petulak
|
|
|
105
|
Kepudang-sungu
kecil
|
|
|
106
|
Sepah tulin
|
|
NT
|
107
|
Sepah hutan
|
|
|
108
|
Cipoh jantung
|
|
NT
|
109
|
Cipoh kacat
|
|
|
110
|
Cica-daun kecil
|
Chloropsis
cyanopogon
|
NT
|
111
|
Cica-daun besar
|
Chloropsis
sonnerati
|
|
112
|
Cica-daun
sayap-biru
|
|
|
113
|
Cucak
sakit-tubuh
|
|
NT
|
114
|
Cucak kuricang
|
Pycnonotus
atriceps
|
|
115
|
Cucak
rumbai-tungging
|
Pycnonotus
eutilotus
|
NT
|
116
|
Cucak
gelambir-biru
|
|
DD
|
117
|
Cucak gunung
|
|
|
118
|
Merbah gunung
|
Pycnonotus
flavescens
|
|
119
|
Merbah cerukcuk
|
Pycnonotus
goiavier
|
|
120
|
Merbah belukar
|
Pycnonotus
plumosus
|
|
121
|
Merbah
corok-corok
|
Pycnonotus
simplex
|
|
122
|
Merbah
mata-merah
|
Pycnonotus
bruneus
|
|
123
|
Merbah kacamata
|
Pycnonotus
erythrophthalmos
|
|
124
|
Empuloh
leher-kuning
|
Criniger
finschii
|
NT
|
125
|
Empuloh ragum
|
Alophoixus
ochraceus
|
|
126
|
Empuloh janggut
|
Alophoixus bres
|
|
127
|
Empuloh irang
|
Alophoixus
phaeocephalus
|
|
128
|
Empuloh
paruh-kait
|
Setornis
criniger
|
VU
|
129
|
Brinji
rambut-tunggir
|
|
|
130
|
Brinji
mata-putih
|
|
NT
|
131
|
Brinji bergaris
|
Ixos
malaccensis
|
NT
|
132
|
Brinji kelabu
|
Hypsipetes
flavala
|
|
133
|
Srigunting
gagak
|
|
|
134
|
Srigunting
keladi
|
Dicrurus aeneus
|
|
135
|
Srigunting batu
|
Dicrurus
paradiseus
|
|
136
|
Kepudang hutan
|
Oriolus
xanthonotus
|
NT
|
137
|
Kepudang
dada-merah
|
Oriolus
cruentus
|
|
138
|
Kacembang
gadung
|
Irena puella
|
|
139
|
Tangkar ongklet
|
Platylophus
galericulatus
|
NT
|
140
|
Tangkar kambing
|
Platysmurus
leucopterus
|
NT
|
141
|
Gagak hutan
|
Corvus enca
|
|
142
|
Tiong-batu Kalimantan
|
Pityriasis
gymnocephala
|
NT
|
143
|
Pelanduk
topi-hitam
|
Pellorneum
capistratum
|
|
144
|
Pelanduk merah
|
Trichastoma
bicolor
|
|
145
|
Pelanduk semak
|
Malacocincla
sepiarium
|
|
146
|
Pelanduk Asia
|
Malacocincla
abbotti
|
|
147
|
Pelanduk
Kalimantan
|
Malacocincla
perspicillata
|
DD
|
148
|
Asi kumis
|
Malacopteron
magnirostre
|
|
149
|
Asi topi-jelaga
|
Malacopteron
affine
|
NT
|
150
|
Asi topi-sisik
|
Malacopteron
cinereum
|
|
151
|
Asi besar
|
Malacopteron
magnum
|
NT
|
152
|
Asi dada-kelabu
|
Malacopteron
albogulare
|
NT
|
153
|
Cica
kopi-melayu
|
Pomatorhinus
montanus
|
|
154
|
Berencet gunung
|
Napothera
crassa
|
|
155
|
Tepus
dahi-merah
|
Stachyris
rufifrons
|
|
156
|
Tepus
kepala-hitam
|
Stachyris
nigriceps
|
|
157
|
Tepus
kepala-kelabu
|
Stachyris
poliocephala
|
|
158
|
Tepus
telinga-putih
|
Stachyris
leucotis
|
NT
|
159
|
Tepus kaban
|
Stachyris
nigricollis
|
NT
|
160
|
Tepus
merbah-sampah
|
Stachyris
erythroptera
|
|
161
|
Wergan coklat
|
Alcippe
brunneicauda
|
NT
|
162
|
Yuhina
Kalimantan
|
Yuhina everetti
|
|
163
|
Sipinjur melayu
|
Eupetes
macrocerus
|
NT
|
164
|
Berkecet biru
|
Luscinia cyane
|
|
165
|
Kucica Hutan
|
Copsychus
malabaricus
|
|
166
|
Kucica
alis-putih
|
Copsychus
stricklandii
|
|
167
|
Kucica
ekor-kuning
|
Trichixos
pyrrhopygus
|
|
168
|
Meninting cegar
|
Enicurus
ruficapillus
|
NT
|
169
|
Meninting besar
|
Enicurus
leschenaulti
|
|
170
|
Decu belang
|
Saxicola
caprata
|
|
171
|
Anis kembang
|
Zoothera interpres
|
NT
|
172
|
Cikrak dada-kuning
|
Seicercus montis
|
|
173
|
Cikrak daun
|
Phylloscopus trivirgatus
|
|
174
|
Kerakbasi ramai
|
Acrocephalus stentoreus
|
|
175
|
Kerakbasi besar
|
Acrocephalus orientalis
|
|
176
|
Cinenen belukar
|
Orthotomus atrogularis
|
|
177
|
Cinenen kelabu
|
Orthotomus ruficeps
|
|
178
|
Cinenen gunung
|
Orthotomus cuculatus
|
|
179
|
Perenjak rawa
|
Prinia flaviventris
|
|
180
|
Buntut-tumpul Kalimantan
|
Urosphena whiteheadi
|
|
181
|
Ceret gunung
|
Cettia vulcania
|
|
182
|
Ceret Kinabalu
|
Bradypterus accentor
|
|
183
|
Sikatan rimba-coklat
|
Rhinomyias brunneata
|
|
184
|
Sikatan-rimba dada-kelabu
|
Rhinomyias umbratilis
|
NT
|
185
|
Sikatan-rimba ekor-merah
|
Rhinomyias ruficauda
|
|
186
|
Sikatan-rimba gunung
|
Rhinomyias gularis
|
|
187
|
Sikatan sisi-gelap
|
|
|
188
|
Sikatan burik
|
Muscicapa griseisticta
|
|
189
|
Sikatan bubik
|
Muscicapa dauurica
|
|
190
|
Sikatan hijau-laut
|
Eumyias thalassina
|
|
191
|
Sikatan ninon
|
Eumyias indigo
|
|
192
|
Sikatan narsis
|
Ficedula narcissina
|
|
193
|
Sikatan mugimaki
|
Ficedula mugimaki
|
|
194
|
Sikatan bodoh
|
Ficedula hyperythra
|
|
195
|
Sikatan belang
|
Ficedula westermanni
|
|
196
|
Sikatan besar
|
Cyornis concretus
|
|
197
|
Sikatan cacing
|
Cyornis banyumas
|
|
198
|
Sikatan biru-langit
|
Cyornis caerulatus
|
VU
|
199
|
Sikatan Kalimantan
|
Cyornis superbus
|
|
200
|
Sikatan melayu
|
Cyornis turcosus
|
NT
|
201
|
Sikatan kerdil
|
Muscicapella hodgsoni
|
|
202
|
Sikatan kepala-kelabu
|
Culicicapa ceylonensis
|
|
203
|
Kipasan gunung
|
Rhipidura albicollis
|
|
204
|
Kipasan mutiara
|
Rhipidura perlata
|
|
205
|
Kipasan belang
|
Rhipidura javanica
|
|
206
|
Kehicap ranting
|
Hypothymis
azurea
|
|
207
|
Philentoma
sayap-merah
|
Philentoma
pyrhopterum
|
|
208
|
Seriwang Asia
|
Tersiphone
paradisi
|
|
209
|
Kancilan
Kalimantan
|
Pachycephala
hypoxantha
|
|
210
|
Kancilan
tungging-putih
|
Pachycephala
homeyeri
|
|
211
|
Kicuit batu
|
Motacilla
cinerea
|
|
212
|
Perling kumbang
|
Aplonis
panayensis
|
|
213
|
Tiong emas
|
Gracula
religiosa
|
|
214
|
Burung-madu
polos
|
Anthreptes
simplex
|
|
215
|
Burung-madu
belukar
|
Anthreptes
singalensis
|
|
216
|
Burung-madu
rimba
|
Hypogramma
hypogrammicum
|
|
217
|
Burung-madu
pengantin
|
Nectarinia
sperata
|
|
218
|
Burung-madu
bakau
|
Nectarinia
calcostetha
|
|
219
|
Burung-madu
sriganti
|
Nectarinia
jugularis
|
|
220
|
Burung-madu
ekor-merah
|
Aethopyga
temminckii
|
|
221
|
Pijantung kecil
|
Arachnothera
longirostra
|
|
222
|
Pijantung
kampung
|
Arachnothera
crassirostris
|
|
223
|
Pijantung besar
|
Arachnothera
robusta
|
|
224
|
Pijantung
Tasmak
|
Arachnothera
flavigaster
|
|
225
|
Pijantung
telinga-kuning
|
Arachnothera
chrysogenys
|
|
226
|
Pijantung
gunung
|
Arachnothera
affinis
|
|
227
|
Pijantung
Kalimantan
|
Arachnothera
everetti
|
|
228
|
Pentis kumbang
|
Prionochilus
thoracicus
|
NT
|
229
|
Pentis
Kalimantan
|
Prionochilus
xanthopygius
|
|
230
|
Pentis pelangi
|
Prionochilus
percussus
|
|
231
|
Cabai
tunggir-coklat
|
Dicaeum
everetti
|
NT
|
232
|
Cabai rimba
|
Dicaeum
chrysorrheum
|
|
233
|
Cabai bunga-api
|
Dicaeum
trigonostigma
|
|
234
|
Cabai polos
|
Dicaeum
concolor
|
|
235
|
Cabai
panggul-kelabu
|
Dicaeum
monticolum
|
|
236
|
Kacamata biasa
|
Zosterops
palpebrosus
|
|
237
|
Kacamata
belukar
|
Zosterops
everetti
|
|
238
|
Opior
Kalimantan
|
Oculocincta
squamifrons
|
|
239
|
Pipit benggala
|
Amandava
amandava
|
|
240
|
Bondol
Kalimantan
|
Lonchura
fuscans
|
|
241
|
Emberisa
pundak-putih
|
Emberiza
aureola
|
|
Dimana
terlihat bahwa jenis satwa yang termasuk dalam kategori ( Rare ; Threteaned;
Endangere ) adalah Trenggiling ( Manis javanica ), Owa ( Hylobates mueleri ),
Kucing Tandang ( Felis planiceps ), Musang Air ( Cynogale bennetii ) dan Bangau
Storm (Ciconia stormii).
3.3.
Trenggiling ( Manis Javanica
)
Trenggiling
(Manis javanica) adalah wakil dari ordo Pholidota yang masih ditemukan di Asia
Tenggara. Hewan ini memakan serangga dan terutama semut dan rayap.
Trenggiling hidup di hutan hujan tropis dataran rendah. Bentuk tubuhnya
memanjang, dengan lidah yang dapat dijulurkan hingga sepertiga panjang tubuhnya
untuk mencari semut di sarangnya. Rambutnya termodifikasi menjadi semacam sisik
besar yang tersusun membentuk perisai berlapis sebagai alat perlindungan diri.
Jika diganggu, trenggiling akan menggulungkan badannya seperti bola. Ia dapat
pula mengebatkan ekornya, sehingga ”sisik”nya dapat melukai kulit
pengganggunya.
Trenggiling adalah satu-satunya mamalia nokturnal unik di
Asia mirip reptilia, tubuhnya ditutupi sisik yang terdiri dari keratin yang
tersusun sangat keras kecuali di bagian bawah perutnya (Mike & Briggs,
2006). Bentuk kepalanya kecil dan tirus kearah ujung moncongnya, plus mata
dengan kelopak mata tebal. Kaki belakangnya lebih panjang dan besar daripada
kaki depan. Bentuk tubuhnya memanjang,
ukuran tubuh dari kepala hingga pangkal ekor berkisar 50-55 cm dan
panjang ekor berkisar 35-45 cm, memiliki dua pasang kaki yang pendek dilengkapi
cakar yang kuat berguna untuk menggali tanah dan menghancurkan sarang semut dan
rayap (Payne dan Francis, 1998). Bobot badannya berkisar 5-7 kg. Ekornya
berotot kuat berfungsi juga sebagai lengan (prehensil) untuk berpegangan waktu
memanjat pohon (Corbet dan Hill, 1992; Nowak, 1999).
Trenggiling pernah diklasifikasikan dengan berbagai
bangsa/ordo satwa seperti Xenarthra yang tergolong pemakan semut (anteater)
yaitu sloths (Bradypus variegates) dan armadillos (Ordo Cingulata, Suku
Dasypodidae, Marga Dasypus), tetapi pembuktian secara genetik ternayta tidak
ada hubungan kekerabatan yang dekat walaupun sama-sama sebagai satwa karnivora
(Murphy et al., 2001). Beberapa ahli Paleontology mengklasifikasikan
trenggiling ke dalam bangsa Cimolesta bersama dengan beberapa kelompok satwa
yang telah punah.
Hingga saat ini tercatat delapan jenis trenggiling dari
suku Manidae, marga Manis, yaitu Manis crassicaudata (Indian pangolin hidup di
India dan Srilangka), M. Culionensis (Palawan pangolin hidup di Philippina), M.
Gigantea (Giant pangolin hidup di Afrika), M. Javanica (Sunda/Malayan pangolin,
hidup di Indonesia, Malaysia dan Indochina), M. Pendatactyla (Chinese pangolin
hidup di Nepal, Himalaya Timur, mMyanmar dan China), M. Temminckii (Cape
pangolin hidup di Asia), M. Tetradactyla (Long-tailed pangolin hidup di Asia),
dan M. Tricuspis (Tree pangolin hidup di Asia).
Klasifikasi trenggiling
menurut Myers et al., 2008 adalah sebagai berikut :
Kelas :
Mamalia
Sub Kelas :
Theria
Bangsa :
Pholidota
Suku :
Manidae
Marga :
Manis
Jenis :
Manis javanica Desmarest, 1822
Nama Umum :
Trenggiling ( Bahasa Indonesia )
Sunda/Malayan
Pangolin ( Bahasa Inggris )
Perilaku
dan Pakan
Berdasarkan tampilan fisik, trenggiling betina lebih
pendek dari trenggiling jantan. Satwa ini memiliki lidah yang dapat dijulurkan
hingga sepertiga dari panjang tubuhnya utnuk mencari semut dan rayap di
sarangnya ( Payne dan Francis, 1998). Trenggiling mempunyai dua pasang kaki
yang pendek dengan cakar yang kuat, mulut, mata, telinga dan sisik yang sangat
keras yang mengandung keratin. Fungsi sisik adalah untuk melindungi dirinya
dari musuh, dengan cara menggulung tubuhnya hingga berbentuk sperti bola,
menyembunyikan kepalanya di antara gulungan ekornya.
Selain itu ekornya yang besar bersisik tebal dan tajam
dapat dikibaskan hingga melukai musuhnya. Satwa ini pintar memanjat dengan cara
menggunakan ekornya yang prehensil (berfungsi sebagai alat pemegang). Indra
penglihatan dan pendengarannya lemah, tetapi penciumannya sangat baik. Bila
merasa terancam trenggiling akan menyemprotkan cairan berbau busuk yang
dihasilkan kelenjar dekat anusnya.
Satwa ini aktif di malam hari (nocturnal). Puncak
aktivitas trenggiling di habitatnya antara pukul 03.00 hingga 06.00 (Lim et
al., 2008). Dalam melakukan kegiatannya, trenggiling mampu berjalan beberapa
kilometer dan dapat kembali ke lubang sarangnya yang biasa ditempati untuk
jangka waktu beberapa bulan. Trenggiling biasa berjalan dengan empat kakinya
tetapi bila berjalan cepat trenggiling akan menggunakan dua kakinya saja
dibantu dengan gerakan ekornya dan mampu berjalan dengan kecepatan 5 km per
jam.
Di siang hari trenggiling di dalam sarangnya (Mondadori,
1988) yang biasanya berada pada lubang-lubang bagian akar pohon yang besar atau
lubang bekas sarang binatang lain. Selain itu terkadang trenggiling membuat
lubang sarang di dalam tanah yang digalinya sendiri hingga kedalaman 3,5 meter
dan satwa ini tergolong pandai berenang (Mondadori, 1988).
3.4.
Owa-Owa ( Hylobates muelleri )
Owa-owa (Hylobates muelleri) merupakan primata endemik
Kalimantan. Satwa ini hidup di hutan
primer dan sekunder atau hutan Dipterocarpaceae sampai dengan ketinggian 1.500
m dpl.
Pakan dari owa-owa terdiri dari berbagai bagian tumbuhan
sperti buah, bunga, biji dan beberapa jenis serangga. Dalam aktivitas
hariannya, Owa-Owa menghabiskan sebagian besar waktunya di pohon (arboreal) dan
jarang sekali turun ke tanah. Sebagian besar pergerakannya dilakukan dengan
bergelayutan (brankiasi) pada kanopi pohon. Satwa ini, tidur pada dahan atau
percabangan pohon dan tidak membuat
sarang. Dari uraian tersebut, owa-owa membutuhkan tajuk yang berkesinambungan
(kontinu) untuk dapat bergelanyutan dari pohon yang satu kepohon yang lain.
3.5.
Musang Air ( Cynogle bennettii )
Musang air (Cynogale bennettii) adalah sejenis musang
semi-akuatik yang ditemukan di hutan, terutama di dataran rendah, daerah dekat
sungai, dan lahan berawa-rawa di Semenanjung Thai-Malaya, Sumatera, dan
Kalimantan. Populasi lainnya, yang dikenali melalui sebuah spesimen saja,
terdapat di Vietnam utara (dengan kemungkinan - tetapi belum dikonfirmasi -
keberadaannya berdasarkan laporan-laporan pada wilayah yang bersebelahan di
Thailand dan Yunnan, Cina). Populasi dari spesies terakhir ini kadang-kadang
dianggap sebagai spesies yang terpisah, yang disebut musang lowe (Lowe's Otter,
C. lowei), yang dalam hal ini nama umum dari C. bennettii kemudian dimodifikasi
menjadi musang air sunda (Sunda Otter Civet), sebagai referensi atas
distribusinya yang sepenuhnya di Paparan Sunda.
Musang air memiliki beberapa bentuk adaptasi terhadap
habitatnya, antara lain mulut yang lebar dan kaki berselaput dengan alas kaki
telanjang dan cakar yang panjang. Moncong hewan ini berbentuk panjang dan
memiliki banyak kumis yang panjang pula.
Musang air adalah spesies nokturnal yang memperoleh
sebagian besar makanannya di air, yaitu ikan, kepiting, dan moluska air tawar.
Ia dapat pula memanjat pohon sehingga juga memangsa burung dan buah-buahan.
Mengingat kelangkaan dan kebiasaannya yang senang bersembunyi, hewan ini
termasuk kategori spesies-spesies yang kurang dipelajari. Ia termasuk dalam
daftar spesies terancam menurut IUCN.
Dengan memperhatikan bahwa sebagian besar sumber pakan
bagi Musang Air ini adalah berasal dari air, maka dengan tersedianya cukup
banyak aliran sungai besar ataupun kecil serta banyak tersedia
kolam-kolam/embung air alami yang terdapat di
kawasan hutan merupakan suatu
kondisi dari bagian habitat yang dapat memberikan kemudahan bagi kelangsungan
kehidupan Musang Air. Sedangkan sumber pakan lainnya adalah berupa
buah-buahan dan burung yang semuanya itu masih tersedia di dalam kawasan hutan.
3.6.
Kucing Tandang ( Felis planiceps )
Beberapa
jenis kucing dapat dengan mudah beradaptasi dan hidup di beberapa habitat yang
berbeda, termasuk di daerah dekat pemukiman penduduk. Beberapa jenis lainnya
lebih mengkhususkan diri dan terbatas penyebarannya pada habitat-habitat
tertentu. Karena keterbatasan ruang hidup mereka, dan akibat perubahan yang
terjadi pada lingkungan mereka seperti pengrusakan habitat dan pencemaran;
jenis-jenis ini biasanya lebih terancam jika dibandingkan dengan jenis-jenis
yang disebutkan sebelumnya.
Hutan Hujan Tropis merupakan
habitat utama bagi kucing liar yang ada di Asia Tenggara dan diperkirakan ada sebanyak
sepuluh jenis kucing liar, atau semua kucing liar yang ada di Asia Tenggara
menghuni kawasan ini.
Kucing tandang (Felis planiceps atau
Prionailurus planiceps).— Kucing ini hidup dalam hutan primer, hutan
sekunder, ladang atau hutan rawa, tetapi tidak bisa lepas dari daerah perairan
(daerah lahan basah) karena makanan utama yang diketahui sampai saat ini adalah
ikan. Kerusakan kualitas lahan basah, khususnya
jaringan sungai, akibat sedimentasi yang dipicu oleh pengrusakan hutan, telah
menurunkan ketersediaan sumber makanan bagi jenis ini. Akibatnya, jenis ini
dianggap telah mengalami penurunan populasi sebesar 20%, bahkan lebih, selama
12 tahun terakhir. Perkiraan populasi yang tersisa di seluruh wilayah
sebarannya (Malaysia, Sumatra dan Kalimantan) mungkin kurang dari 2.500
individu dewasa saja.
3.7.
Bangau storm ( Cincinati stormii )
Bangau adalah sebutan untuk burung
dari keluarga Ciconiidae. Badan berukuran besar, berkaki panjang,
berleher panjang namun lebih pendek dari burung Kuntul, dan mempunyai paruh
yang besar, kuat dan tebal. Bangau bisa dijumpai di daerah beriklim hangat.
Habitat di daerah yang lebih kering dibandingkan burung Kuntul dan Ibis.
Makanan berupa Katak, ikan, serangga, cacing, burung kecil dan mamalia kecil
dari lahan basah dan pantai.
Bangau tidak memiliki organ suara syrinx sehingga tidak bersuara. Paruh
yang diadu dengan pasangannya merupakan cara berkomunikasi menggantikan suara
panggilan. Bangau merupakan burung pantai migran, terbang jauh dengan cara
melayang memanfaatkan arus udara panas sehingga dapat menghemat tenaga. Foto
burung Bangau yang sedang terbang oleh Ottomar Anschütz (1884) menjadi
inspirasi Otto Lilienthal untuk membuat glider yang digunakan untuk terbang
layang pada akhir abad ke-19.
Sarang digunakan untuk beberapa tahun, berukuran sangat besar, diameter
hingga 2 meter. dan kedalaman sarang 3 meter. Bangau pernah dikira monogami,
tapi ternyata tidak selalu benar. Bangau cenderung setia pada sarang dan
pasangannya, tapi mungkin juga berganti pasangan sehabis migrasi atau pergi
bermigrasi tanpa ditemani pasangannya.
Bangau berukuran besar ini hanya tersisa dalam jumlah populasi yang kecil
dan terfragmentasi (diperkirakan tersisa antara 250 dan 500 individu dewasa
saja). Penurunan populasi jenis ini terjadi sangat cepat, dan diduga berkaitan
erat dengan kehilangan habitat akibat penebangan hutan dan perubahan fungsi
hutan menjadi perkebunan besar. Bangau ini hidup dalam hutan dataran rendah
yang masih utuh, terutama di sekitar perairan atau dataran genangan
sungai-sungai besar.
Jenis ini biasanya penyendiri, meskipun
kadang-kadang ditemukan dalam kelompok kecil.
Dikarenakan bangau ini merupakan burung migran, maka yang pasti selama
perhentian transitnya akan memerlukan sumber pakan dan memperhatikan pakan
bangau ini adalah merupakan satwa di air, maka dengan keberadaan aliran sungai
yang berada di dalam kawasan hutan dipterocarpa dataran rendah, akan merupakan tempat transit yang ideal bagi
bangau storm.
mkasih gan... sangat membantu sekali
BalasHapus