Jumat, 01 Februari 2013

INDUSTRI YANG SEDERHANAKAH PENGELOLAAN PERKAYUAN ITU ?



Pengelolaan perkayuan merupakan satu rangkaian kata yang mencakup aspek kelola dan aspek kayu, nampak simple alias sederhana makna dan maksud kata ini. Namun apakah dalam implementasinya demikian sederhana atau demikian mudah sehingga siapa pun bisa melakukannya dan siapa pun bisa berkiprah sebagai pengelola kayu alias pengusaha kayu ataupun pedagang kayu ataupun klasifikasi lainnya.
Manuntung (5/10/1996) menyebutkan bahwa sector kehutanan merupakan bagian dari bisnis yang sangat menggiurkan. Para pemilik HPH akan langsung memetik hasil sebab alam sudah menyediakan segalanya. Ringkasnya, rezeki sudah di depan mata begitu surat HPH dalam genggaman.
Kembali pada konteks judul di atas pengelolaan perkayuan, di mana era sebelum tahun 80 an dengan setelah keluarnya SK larangan ekspor kayu bundar, maka arti dan makna perkayuan yang sebelumnya identik dengan eksploitasi hutan dalam arti tebang angkut-rakit dan jual. Sementara itu pada era tahun 80-an konteks perkayuan tidak bisa hanya dilihat dalam hal hutannya semata, namun penulis lihat terdapat tiga kategori usaha perkayuan (legal), yakni pemegang HPH, usaha industri proses berbahan baku kayu dan usaha HPH sekaligus pemilik industri.
Perjalanan dan perkembangan usaha ketiga kategori usaha perkayuan tersebut diiringi dengan berbagai konsekuensi dan permasalahan yang melingkupinya. Walaupun umumnya masyarakat beranggapan bahwa selama ini masih banyak atau tiap hari terdapat rakit kayu ber-SAKB alias tebangan legal yang milir (diangkut) di sungai Mahakam yang berarti masih besar dan mudah para pengusaha kayu untuk memperoleh uang.
Bagaimana relevansi antara milirnya rakit tersebut dengan fenomena tiga kategori usaha tadi ? Apakah mempunyai dampak keuntungan yang sama bagi ketiga pelaku bisnis tersebut atau terdapat perbedaan konsekuensi ? Apabila menimbulkan dampak keuntungan yang sama, jatuh pada segmen mana porsi keuntungan yang lebih besar ? jikalau menimbulkan konsekuensi yang berbeda, seberapa jauh perbedaan yang terjadi dan mengapa timbulnya perbedaan itu ?
Sayangnya penulis belum bisa menyajikan ulasan yang disertai angka-angka yang bisa memudahkan pengertian dan pemahaman pembaca.
Namun secara sederhana, perbedaan konsekuensi yang ada bisa diilustrasikan sebagai berikut :

PEMEGANG HPH
Sebagaimana dikutip di atas bahwa kesempatan seseorang memperoleh hak konsesi sebagai pemegang HPH, merupakan peluang usaha yang menarik dari mulai adanya UU penanaman modal baik dalam negeri maupun asing.
Satu diantara latar belakang pengusahaan hutan di Indonesia antara lain pendapatan devisa Negara guna mendukung proses pembangunan nasional, di mana hal ini bisa tercapai pada kurun waktu cukup lama sector perkayuan menjadi penghasil devisa dari non migas yang cukup menonjol. Dalam perkembangannya, tidak hanya pendapatan devisa yang diperhitungkan, tapi juga kesempatan kerja, kesempatan berusaha, pertumbuhan wilayah dan pertimbangan lainnya.
Berkaitan dengan peningkatan nilai tambah adanya pengusahaan hutan dimaksud, maka kemudian muncul larangan ekspor kayu bulat (log) dan adanya kewajiban bagi pengusaha HPH untuk membangun industri atau bekerjasama dengan pengusaha industri lainnya. Hal ini diharapkan pendapatan devisa Negara dari sector perkayuan tidak berkurang bahkan harus meningkat dengan bentuk ekspor dari kayu bundar menjadi kayu lapis atau produk kayu lainnya.
Selain itu kewajiban-kewajiban lain yang harus dilaksanakan pemegang HPH juga bervariasi seiring dengan tuntutan kepentingan atas keberadaan hutan tropis yang tidak hanya aset nasional, tapi juga dianggap sebagai aset internasional. Dengan demikian aspek lingkungan sudah merupakan tuntutan tersendiri yang harus mendapat porsi dalam penentuan kebijakan nasioanl maupun kebijakan unit manajemen usaha termasuk adanya kewajiban pembinaaan masyarakat sekitar hutan.
Dengan berbagai perkembangan tersebut, pola pengusahaan hutan menuntut perubahan tatanan maupun kualifikasi SDM yang menjalankannya, dimana era sebelumnya menekankan aspek produksi namun era selanjutnya tidak hanya keahlian produksi, akan tetapi harus didukung oleh tenaga kualifikasi budi daya, konservasi, social kemasyarakatan dan sebagainya.
Pada akhirnya mengarah kepada keberlanjutan usaha yang didukung adanya keberlanjutan produksi, keberlanjutan ekologis dan keberlanjutan social budaya masyarakat. Sementara aspek  pemasaran bagi pemegang HPH relative tidak menghadapi hambatan, karena tidak hanya pasar local yang masih kekurangan kayu bulat, juga kalau diizinkan kembali ekspor kayu bulat maka prospeknya lebih baik lagi karena harga kayu bulat di pasar internasional lebih tinggi dibandingkan dalam negeri. Selain itu perputaran uang dalam proses usaha HPH murni ini tidaklah terlalu lama.

PENGUSAHA INDUSTRI
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa dalam upaya peningkatan nilai tambah pengusaha hutan, maka sebelumnya yang diberikan bukan keleluasaan ekspor kayu bulat kemudian dikeluarkan larangan ekspor. Diharapkan adanya nilai tambah yang diperoleh didalam negeri melalui kesempatan kerja, kesempatan usaha dan turut memacu pertumbuhan wilayah.
Pada tahun-tahun awal pembangunan industri yang juga merupakan satu diantara kewajiban pemegang HPH, hingga banyak pemegang HPH yang membangun industri ataupun bekerjasama dengan pihak lain.
Perputaran uang dalam pengusahaan hutan yang tadinya cukup sederhana, mulai adanya alur perjalanan dana yang lebih lama. Tujuan pendapatan devisa itu sendiri tetap bisa tercapai, namun diperlukan kesiapan dan kesigapan pengusaha dan aparatnya dalam menghadapi dan mengantisipasi setiap perkembangan bisnis perkayuan internasional.
Terlebih dalam perjalanan industri kayu lapis pada tiga tahun terakhir ini, setelah mengalami booming harga kayu lapis pada pertengahan 1993 yang kemudian turun dan terus melorot lagi. Baru pada beberapa bulan terakhir ini ada trend kenaikan harga kayu lapis yang menurut Merrill Linch (Manuntung 5/20/96) untuk pasar Jepang mengalami kenaikan 11 persen. Meskipun masih harus dicermati lagi, apakah kenaikan itu meliputi semua ukuran atau ukuran tertentu saja. Demikian antara lain permasalahan internasional yang perlu diantisipasi pengusaha industri kayu ditambah lagi permasalahan didalam negeri yang antara lain berkaitan dengan pengadaan bahan baku, aspek ketenagakerjaan dan sebagainya.

USAHA INDUSTRI DAN HPH
Industri yang tergabung dalam suatu grup usaha yang sekaligus pengelola HPH akan relative lebih aman supply bahan bakunya dibandingkan dindustri yang lebih banyak mengandalkan ketersediaan kayu dipasar bebas.
Namun yang jelas perputaran modal pada jaringan kerja ini lebih lama dibandingkan kelompok usaha yang disebutkan di atas dimana pemegang HPH ataupun industri hanya mengalmai satu segmen kegiatan mengeluarkan modal kerja. Selain itu tentunya bentuk antisipasi dan permasalah yang melingkupinya menjadi kombinasi dari dua konteks kegiatan HPH dan industri.
Akan tetapi bila pengelolaan usaha ini mempunyai kemampuan meramu atau meracik resep kombinasi yang memadai, niscaya perpaduan ini akan memberikan nilai tambah yang lebih besar.

KESIMPULAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar