Pengelolaan perkayuan
merupakan satu rangkaian kata yang mencakup aspek kelola dan aspek kayu, nampak
simple alias sederhana makna dan maksud kata ini. Namun apakah dalam
implementasinya demikian sederhana atau demikian mudah sehingga siapa pun bisa
melakukannya dan siapa pun bisa berkiprah sebagai pengelola kayu alias
pengusaha kayu ataupun pedagang kayu ataupun klasifikasi lainnya.
Manuntung (5/10/1996)
menyebutkan bahwa sector kehutanan merupakan bagian dari bisnis yang sangat
menggiurkan. Para pemilik HPH akan langsung memetik hasil sebab alam sudah
menyediakan segalanya. Ringkasnya, rezeki sudah di depan mata begitu surat HPH
dalam genggaman.
Kembali pada konteks
judul di atas pengelolaan perkayuan, di mana era sebelum tahun 80 an dengan
setelah keluarnya SK larangan ekspor kayu bundar, maka arti dan makna perkayuan
yang sebelumnya identik dengan eksploitasi hutan dalam arti tebang angkut-rakit
dan jual. Sementara itu pada era tahun 80-an konteks perkayuan tidak bisa hanya
dilihat dalam hal hutannya semata, namun penulis lihat terdapat tiga kategori
usaha perkayuan (legal), yakni pemegang HPH, usaha industri proses berbahan
baku kayu dan usaha HPH sekaligus pemilik industri.
Perjalanan dan
perkembangan usaha ketiga kategori usaha perkayuan tersebut diiringi dengan
berbagai konsekuensi dan permasalahan yang melingkupinya. Walaupun umumnya
masyarakat beranggapan bahwa selama ini masih banyak atau tiap hari terdapat
rakit kayu ber-SAKB alias tebangan legal yang milir (diangkut) di sungai
Mahakam yang berarti masih besar dan mudah para pengusaha kayu untuk memperoleh
uang.
Bagaimana relevansi
antara milirnya rakit tersebut dengan fenomena tiga kategori usaha tadi ?
Apakah mempunyai dampak keuntungan yang sama bagi ketiga pelaku bisnis tersebut
atau terdapat perbedaan konsekuensi ? Apabila menimbulkan dampak keuntungan
yang sama, jatuh pada segmen mana porsi keuntungan yang lebih besar ? jikalau
menimbulkan konsekuensi yang berbeda, seberapa jauh perbedaan yang terjadi dan
mengapa timbulnya perbedaan itu ?
Sayangnya penulis belum
bisa menyajikan ulasan yang disertai angka-angka yang bisa memudahkan
pengertian dan pemahaman pembaca.
Namun secara sederhana,
perbedaan konsekuensi yang ada bisa diilustrasikan sebagai berikut :
PEMEGANG
HPH
Sebagaimana dikutip di
atas bahwa kesempatan seseorang memperoleh hak konsesi sebagai pemegang HPH,
merupakan peluang usaha yang menarik dari mulai adanya UU penanaman modal baik
dalam negeri maupun asing.
Satu diantara latar
belakang pengusahaan hutan di Indonesia antara lain pendapatan devisa Negara
guna mendukung proses pembangunan nasional, di mana hal ini bisa tercapai pada
kurun waktu cukup lama sector perkayuan menjadi penghasil devisa dari non migas
yang cukup menonjol. Dalam perkembangannya, tidak hanya pendapatan devisa yang
diperhitungkan, tapi juga kesempatan kerja, kesempatan berusaha, pertumbuhan
wilayah dan pertimbangan lainnya.
Berkaitan dengan
peningkatan nilai tambah adanya pengusahaan hutan dimaksud, maka kemudian
muncul larangan ekspor kayu bulat (log) dan adanya kewajiban bagi pengusaha HPH
untuk membangun industri atau bekerjasama dengan pengusaha industri lainnya.
Hal ini diharapkan pendapatan devisa Negara dari sector perkayuan tidak
berkurang bahkan harus meningkat dengan bentuk ekspor dari kayu bundar menjadi
kayu lapis atau produk kayu lainnya.
Selain itu
kewajiban-kewajiban lain yang harus dilaksanakan pemegang HPH juga bervariasi
seiring dengan tuntutan kepentingan atas keberadaan hutan tropis yang tidak
hanya aset nasional, tapi juga dianggap sebagai aset internasional. Dengan
demikian aspek lingkungan sudah merupakan tuntutan tersendiri yang harus
mendapat porsi dalam penentuan kebijakan nasioanl maupun kebijakan unit
manajemen usaha termasuk adanya kewajiban pembinaaan masyarakat sekitar hutan.
Dengan berbagai
perkembangan tersebut, pola pengusahaan hutan menuntut perubahan tatanan maupun
kualifikasi SDM yang menjalankannya, dimana era sebelumnya menekankan aspek
produksi namun era selanjutnya tidak hanya keahlian produksi, akan tetapi harus
didukung oleh tenaga kualifikasi budi daya, konservasi, social kemasyarakatan
dan sebagainya.
Pada akhirnya mengarah
kepada keberlanjutan usaha yang didukung adanya keberlanjutan produksi,
keberlanjutan ekologis dan keberlanjutan social budaya masyarakat. Sementara
aspek pemasaran bagi pemegang HPH
relative tidak menghadapi hambatan, karena tidak hanya pasar local yang masih
kekurangan kayu bulat, juga kalau diizinkan kembali ekspor kayu bulat maka
prospeknya lebih baik lagi karena harga kayu bulat di pasar internasional lebih
tinggi dibandingkan dalam negeri. Selain itu perputaran uang dalam proses usaha
HPH murni ini tidaklah terlalu lama.
PENGUSAHA
INDUSTRI
Sebagaimana disebutkan
di atas, bahwa dalam upaya peningkatan nilai tambah pengusaha hutan, maka
sebelumnya yang diberikan bukan keleluasaan ekspor kayu bulat kemudian
dikeluarkan larangan ekspor. Diharapkan adanya nilai tambah yang diperoleh
didalam negeri melalui kesempatan kerja, kesempatan usaha dan turut memacu
pertumbuhan wilayah.
Pada tahun-tahun awal
pembangunan industri yang juga merupakan satu diantara kewajiban pemegang HPH,
hingga banyak pemegang HPH yang membangun industri ataupun bekerjasama dengan
pihak lain.
Perputaran uang dalam
pengusahaan hutan yang tadinya cukup sederhana, mulai adanya alur perjalanan
dana yang lebih lama. Tujuan pendapatan devisa itu sendiri tetap bisa tercapai,
namun diperlukan kesiapan dan kesigapan pengusaha dan aparatnya dalam
menghadapi dan mengantisipasi setiap perkembangan bisnis perkayuan
internasional.
Terlebih dalam
perjalanan industri kayu lapis pada tiga tahun terakhir ini, setelah mengalami
booming harga kayu lapis pada pertengahan 1993 yang kemudian turun dan terus
melorot lagi. Baru pada beberapa bulan terakhir ini ada trend kenaikan harga
kayu lapis yang menurut Merrill Linch (Manuntung 5/20/96) untuk pasar Jepang
mengalami kenaikan 11 persen. Meskipun masih harus dicermati lagi, apakah
kenaikan itu meliputi semua ukuran atau ukuran tertentu saja. Demikian antara
lain permasalahan internasional yang perlu diantisipasi pengusaha industri kayu
ditambah lagi permasalahan didalam negeri yang antara lain berkaitan dengan
pengadaan bahan baku, aspek ketenagakerjaan dan sebagainya.
USAHA
INDUSTRI DAN HPH
Industri yang tergabung
dalam suatu grup usaha yang sekaligus pengelola HPH akan relative lebih aman
supply bahan bakunya dibandingkan dindustri yang lebih banyak mengandalkan
ketersediaan kayu dipasar bebas.
Namun yang jelas
perputaran modal pada jaringan kerja ini lebih lama dibandingkan kelompok usaha
yang disebutkan di atas dimana pemegang HPH ataupun industri hanya mengalmai
satu segmen kegiatan mengeluarkan modal kerja. Selain itu tentunya bentuk
antisipasi dan permasalah yang melingkupinya menjadi kombinasi dari dua konteks
kegiatan HPH dan industri.
Akan tetapi bila
pengelolaan usaha ini mempunyai kemampuan meramu atau meracik resep kombinasi
yang memadai, niscaya perpaduan ini akan memberikan nilai tambah yang lebih
besar.
KESIMPULAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar