Pengusahaan hutan di
Indonesia, sebagai salah satu pemasok devisa Negara melalui ekspor non migas
diawali dengan periode ekspor log, yang ternyata kemudian banyak mendukung
tumbuhnya industri plywood di beberapa Negara, seperti Korea, Jepang, Taiwan,
dsb. Ternyata, dari kegiatan ekspor log, nilai tambah lebih banyak diperoleh
Negara pengimpor, sehingga kemudian pemerintah Indonesia melarang ekspor log guna
mendukung tumbuhnya industri perkayuan dalam negeri.
Dengan kebijaksanaan
larangan ekspor log dan kewajiban HPH memiliki atau mempunyai hubungan
kepemilikan industri perkayuan sebagai proses lebih lanjut dari pengelolaan
HPH, yang diharapkan bisa memberikan nilai tambah yang lebih baik.
Pelan tapi pasti pasar plywood
dunia yang tadinya dikuasai Negara pengimpor log seperti Jepang dan Korea mulai
beralih kendali pada produsen-produsen plywood Indonesia. Dimotori Apkindo yang
mengatur pemasaran dan sekaligus menghadapi kartel plywood dunia yang telah
merajalela sebelumnya, membuat produsen kayu lapis Indonesia menjadi raja baru di
pasaran plywood dunia.
Peran Apkindo ini banyak
dirasakan anggotanya sebagai-mana diungkapkan Presiden Direktur Sumalindo :
“Asosiasi yang kuat sangat diperlukan guna menghadapi perusahaan dagang
internasional yang gede-gede yang tidak bisa dilawan sendiri-sendiri
(Swa/Desember 1994)”.
Demikian juga bagaimana
peranan Apkindo dalam mengatur pemasaran plywood, ternyata mampu mengangkat
harga kayu lapis dari sekitar US $200/m3 pada awal tahun 1980-an menjadi US
$300, 400, 500 dan naik lagi, walaupun kemudian pada 2 tahun terakhir ini harga
turun akibat permintaan yang lesu.
Periode tahun
1970-1980-an merupakan tahun-tahun awal pengusahaan hutan Indonesia
melalui pemberian Hak Pengusahaan Hutan baik berupa PMA maupun PMDN. Dimana
pada periode ini ditandai banyaknya pemegang HPH yang telah diizinkan untuk
melaksanakan pengusahaan hutan di berbagai areal di Indonesia, demikian juga
pengaruhnya pada beberapa Negara seperti Jepang,
Taiwan dan
lainnya mulai muncul industri perkayuan dan bahkan menguasai pasar plywood
dunia.
Setelah selama tahun
1970-an menjadi pemasok bahan baku
log yang menghidupi banyak pabrik di beberapa Negara, maka mulai era baru
pengusahaan hutan di Indonesia
dengan dibangunnya pabrik-pabrik pengolah bahan baku menjadi barang jadi.
Periode 1980-1990-an
merupakan masa-masa kejayaan perkayuan Indonesia dengan menguasai pasar
plywood dunia, bahkan puncaknya terjadi pada sekitar 1993, dimana harga plywood
mencapai US $700/m3. Namun kemudian terjadi penurunan harga dan kelesuan
permintaan.
Kenapa demikian? Banyak
hal yang mempengaruhi pasang surut perkayuan Indonesia antara lain :
SUPLY
BAHAN BAKU
Salah satu aspek yang
banyak menentukan kelangsungan dan keseimbangan industri kayu adalah kepastian
adanya supply bahan baku.
Berdasarkan data ITTO
yang dimuat pada tropical forest update (Maret 1995) memberikan gambaran
sebagai berikut : (Lihat table I,II,III,IV).
Data pada tabel 1
memperlihatkan 10 besar Negara anggota ITTO yang melakukan ekspor log (kayu)
tropis yang didominasi oleh Malaysia, dimana pada tahun 1992 mencapai 17,3 juta
m3 yang mengalami penurunan sebesar 6% dibanding ekspor tahun 1991. Sementara
tahun 1993 sebesar 9,4 juta m3 dan tahun 1994 mengalami kenaikan 3,19 % menjadi
9,7 juta m3.
Tujuan utama ekspor log
Malaysia adalah Jepang, RRC, Taiwan dan Korea Selatan, demikian juga Papua
Nugini sebagai Negara terbesar kedua yang mengekspor log (kayu) tropis pada
tahun 1992 sebesar 1,9 juta m3 dan tahun 1994 meningkat menjadi 2,9 juta m3
dengan negara tujuan utama Jepang dan Korea Selatan.
Ditambah ekspor log dari
beberapa Negara lainnya yang tentunya akan menambah pasokan bahan baku bagi
industri-industri kayu di Negara tujuan ekspor, terlebih Jepang, Korea dan
Taiwan yang sebelumnya pernah menguasai pasar plywood dunia.
Sebagaimana diketahui
bahwa raja kayu lapis semenjak 1950-an adalah Jepang, dengan Amerika Serikat
sebagai pasar utama. Bahan bakunya berasal dari hutan-hutan Asia Tenggara (Malaysia dan
Filipina) yang terkenal dengan sebutan Outh Sea Logs.
Ternyata permintaan
domestik Jepang terus meningkat sehingga Jepang akhirnya mengundurkan diri dari
pasar ekspor, dan posisi Jepang dalam perdagangan internasional digantikan
Korea Selatan, Filipina, Taiwan, Malaysia dan Singapura.
Hal lain menarik yang
perlu dikaji kalangan kehutanan Indonesia adalah kemampuan produksi dari lima
Negara anggota ITTO yang jumlah produksinya mencapai 85 % dari total produksi
anggota ITTO, yaitu Malaysia, Indonesia, Brazil, India dan PNG.
Apabila melihat tabel
II, ternyata import log (kayu) tropis didominasi oleh Jepang, dimana pada tahun
1992 mencapai 11 juta m3 yang 78% dari jumlah tersebut berasal dari Serawak dan
Sabah.
Dilain pihak Menteri
Kehutanan Bapak Djamaludin Suryohadikusumo mengatakan kalaupun pengusaha Indonesia akan
mengimpor log, maka sebaiknya tidak dari Negara tetangga karena dikhawatirkan
kayu tersebut berasal dari wilayah Indonesia. Hal ini diperkuat dengan
keterangan Team Penertiban Hutan Terpadu beberapa waktu lalu yang mengatakan
bahwa team tersebut berhasil menahan 30-an traktor yang diduga milik pengusaha
Negara jiran.
KEMAMPUAN INDUSTRI
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa importer utama log
adalah Jepang, Korea, Taiwan yang pada tahun 1970-80-an
merajai pasar plywood dunia kemudian mengalami slow down pada decade
1980-1990-an nampaknya perlu menjadi bahan antisipasi kalangan industrialis
kayu Indonesia
akan kemampuan teknologi ketiga Negara tersebut.
Bisa dikatakan bahwa
teknologi industri plywood Indonesia
identik dengan industri mereka pada tahun 1970-80-an, apakah selama kurun waktu
10 tahun tidak cukup bagi kalangan industri mereka untuk mengubah teknologi
proses pembuatan plywood yang lebih efisien bahan baku misalnya, hingga mempunyai daya saing
yang lebih menarik dibandingkan produk Indonesia walaupun didukung bahan baku yang lebih murah.
Kita semua tahu bahwa
kemampuan teknologi macan-macan Asia tersebut
sudah mendunia, dalam jangka panjang tentunya para industrialis plywood Indonesia harus
mengantisipasi modifikasi teknologi yang digunakan selain melakukan
diversifikasi produk.
Sebagai gambaran
produksi plywood yang dihasilkan Negara utama penghasil plywood tropik
disajikan pada tabel 4, sebagai berikut :
Dari tabel 4 di atas
terlihat tidak hanya Negara yang memiliki sumber bahan baku saja yang banyak
menghasilkan plywood tropis, namun negara tanpa (sedikit) sumber bahan baku
malahan menjadi salah satu produsen plywood tropis, ini terlihat Jepang sebagai
produsen kedua terbesar, Korea yang kelima dan seterusnya.
Melihat tingkat
kompetisi pasar plywood dunia ditambah menurunnya tingkat pertumbuhan ekonomi
di beberapa Negara tujuan yang pada akhirnya mengakibatkan lesunya industri
perkayuan Indonesia, bahkan dikatakan kayu lapis kaltim, industri yang mulai
redup (Manuntung 15/1).
Terjadinya kelesuan
ekspor, banyak pihak yang merasa dirugikan, pemerintah jelas berkepentingan,
karena ekspor plywood akan mempengaruhi perolehan devisa.
Pengusaha sudah pasti
akan mengalami kekurangan keuntungan bahkan merugi, apalagi para karyawan bisa
terancam PHK massal seperti yang sekarang banyak terjadi di kaltim.
Kendala, tantangan,
peluang, langkah antisipasi, dan seterusnya merupakan bagian ataupun keadaan
yang tak terpisahkan dari suatu proses perjalanan usaha. Hal ini akan banyak
bergantung pada kiat-kiat, kepiawaian dan komitmen pengusaha dalam menghadapi
tantangan yang ada guna dijadikan peluang menuju suatu keuntungan bersama.
Bukan keuntungan sepihak seperti pengusaha yang beralih usaha di USA, sementara
itu meninggalkan kesulitan pada karyawan yang ditinggalkan.
KONDISI
INTERNAL (NASIONAL)
Krisis log yang
dirasakan akhir-akhir ini, bahkan menimbulkan bangkrutnya beberapa industri
plywood salah satunya dikarenakan kemungkinan
tidak seimbangnya luas areal/daya dukung hutan dengan kapasitas
industri. Namun satu hal yang tidak bisa diingkari adalah bahwa krisis pasokan
bahan baku akan dirasakan semua industri plywood, bukan karena potensi hutan
Indonesia yang telah kritis, tetapi lebih banyak disebabkan oleh areal
penebangan yang masih tersisa umumnya kurang ekonomis.
Antara lain jarak
tebangan dari log pond telah jauh menjorok ke tengah hutan, jauh dari prasarana
angkutan sungai. Di mana sungai merupakan sarana transportasi kayu yang jauh
lebih murah dibandingkan jalan darat ataupun laut.
Tingkat pendisiplinan
pemegang HPH yang dilakukan Departemen Kehutanan makin intensif baik berupa
peringatan, pemberian sanksi atau denda dan bahkan pencabutan izin HPH semakin
sering terdengar. Sementara itu ketentuan dan kewajiban HPH makin beragam dibandingkan
pada dekade awal kegiatan HPH yang tentunya semua itu mempunyai konsekuensi
biaya yang pada akhirnya bermuara pada pertimbangan ekonomis untung rugi.
Manajemen usaha pada
beberapa kelompok industri perkayuan masih banyak yang dikelola secara gotong
royong oleh anggota keluarga terdekat. Padahal usaha perkayuan merupakan suatu
usaha yang khas dibandingkan jenis usaha lainnya, dimana disamping wawasan
bisnis yang cukup, juga harus didukung wawasan dan komitmen atas azas
kelestarian hutan sebagai sumber kelangsungan dan kesinambungan usaha.
Kewajiban lain yang
bersifat menyeluruh terhadap pengusaha di Indonesia yang kelihatannya mulai
menekankan pada tingkat kesejahteraan karyawan berupa keharusan program
Jamsostek, dan pensiun karyawan, THR (sebelumnya bersifat anjuran) dan satu hal
yang mendasar adalah kenaikan UMR secara berkala dari kebutuhan fisik minimum
menuju standar kebutuhan hidup minimum.
Kepastian kawasan hutan
yang diusahakan masih sering adanya tumpang tindih kepentingan, sehingga akan
mempengaruhi rencana pengusahaan hutan dalam jangka panjang.
KONDISI
EXTERNAL (INTERNASIONAL)
Trend masa kini dalam
perdagangan internasional adalah bahwa kesadaran konsumen di Negara maju
sebagai tujuan produk ekspor Indonesia akan perlindungan lingkungan telah
melekat sehingga produk hijau merupakan pilihan pembeli.
Tuntutan konsumen
terhadap produk hijau perlu ditanggapi dengan bijaksana dan pro aktif, baik
oleh pemerintah, dunia usaha/industri dan masyarakat pemerhati lainnya.
Walaupun bagi Indonesia
sebagai Negara berkembang, kewajiban perlindungan lingkungan merupakan beban,
namun dalam jangka pemikiran yang lebih luas, lebih optimis, maka ekolabeling
dapat merupakan suatu peluang dan membutuhkan persiapan yang mantap. Pada hal
menurut kesepakatan ITTO, ecolabelling ini akan diterapkan pada tahun 2000.
Selain diberlakukannya
ecolabelling tahun 2000, juga pada decade ini dimulainya babak baru perdagangan
internasional berupa perdagangan bebas hambatan ibarat jalan tol yang hanya dua
kali berhenti di awal dan ujung perjalanan untuk terjadinya transaksi tanpa
hambatan macam-macam di tengah perjalanan.
Suply log dari beberapa
Negara tropis lainnya masih cukup banyak hingga bisa menumbuhkan kembali
industri kayu di Negara tanpa (sedikit) bahan baku seperti Korea, Jepang,
Taiwan dan sebagainya yang sebelumnya memang menguasai prasarana plywood dunia.
Dalam kerangka berpikir
positif, kalangan pengusaha maupun ilmuwan kehutanan Indonesia perlu
mempelajari kemampuan Malaysia sebagai produsen kayu tropis melebihi pasokan
hutan Indonesia. Apakah dalam hal ini sudah demikian intensif rekayasa manusia
untuk meningkatkan potensi hutan Malaysia yang luasnya 19,37 juta hectare
(meliputi hutan produksi, Taman Nasional, Cagar Alam dan Hutan Konversi)
dibandingkan hutan Indonesia seluas 144 juta hektare yang diantaranya 64 juta
hectare hutan produksi.
PENUTUP
Bentuk antisipasi
bagaimana yang bisa dilakukan kalangan pengusaha hutan Indonesia? Tentu banyak
alternative yang bisa diambil, namun pertanyaan mendasar yang akan mewarnai
pemilihan alternative adalah komitmen pengusaha. Di antara alternative yang bisa
di ambil adalah :
Evaluasi kegiatan
pengusahaan hutan sebagai pemasok bahan baku dengan memperhatikan azas-azas
pengusahaan yang mendukung kesinambungan industri. Dalam hal ini kelestarian
hutan tidak hanya memenuhi peraturan dan tuntutan internasional semata, namun
juga menyangkut kelangsungan usaha.
Efisiensi penggunaan
bahan baku dan diversifikasi penggunaan jenis kayu yang bisa digunakan sebagai
bahan baku selain yang sudah dikenal saat ini maupun diversifikasi produk yang
dihasilkan termasuk kombinasi bahan baku yang berasal dari hutan tanaman.
Alternative ini memerlukan penciptaaan dan penguasaan pasar serta penyempurnaan
teknologi proses industri.
Diperlukan kebersamaan
diantara produsen dalam negeri guna menghadapi kompetitor luar yang dirasakan
semakin menguat.
Alternative lain yang
mungkin lebih aman bagi para “businesman” adalah perlahan-lahan mundur dari
percaturan dunia kayu dan mengalihkan pada jenis usaha yang lebih menjanjikan
dalam jangka panjang.
Semua data grafik bersumber
pada bulletin ITTO, Tropical Forest Up Date bulan Maret dan September 1995.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar