Minggu, 27 Januari 2013

PERKAYUAN INDONESIA MENYONGSONG TAHUN 2000



Pengusahaan hutan di Indonesia, sebagai salah satu pemasok devisa Negara melalui ekspor non migas diawali dengan periode ekspor log, yang ternyata kemudian banyak mendukung tumbuhnya industri plywood di beberapa Negara, seperti Korea, Jepang, Taiwan, dsb. Ternyata, dari kegiatan ekspor log, nilai tambah lebih banyak diperoleh Negara pengimpor, sehingga kemudian pemerintah Indonesia melarang ekspor log guna mendukung tumbuhnya industri perkayuan dalam negeri.
Dengan kebijaksanaan larangan ekspor log dan kewajiban HPH memiliki atau mempunyai hubungan kepemilikan industri perkayuan sebagai proses lebih lanjut dari pengelolaan HPH, yang diharapkan bisa memberikan nilai tambah yang lebih baik.
Pelan tapi pasti pasar plywood dunia yang tadinya dikuasai Negara pengimpor log seperti Jepang dan Korea mulai beralih kendali pada produsen-produsen plywood Indonesia. Dimotori Apkindo yang mengatur pemasaran dan sekaligus menghadapi kartel plywood dunia yang telah merajalela sebelumnya, membuat produsen kayu lapis Indonesia menjadi raja baru di pasaran plywood dunia.
Peran Apkindo ini banyak dirasakan anggotanya sebagai-mana diungkapkan Presiden Direktur Sumalindo : “Asosiasi yang kuat sangat diperlukan guna menghadapi perusahaan dagang internasional yang gede-gede yang tidak bisa dilawan sendiri-sendiri (Swa/Desember 1994)”.
Demikian juga bagaimana peranan Apkindo dalam mengatur pemasaran plywood, ternyata mampu mengangkat harga kayu lapis dari sekitar US $200/m3 pada awal tahun 1980-an menjadi US $300, 400, 500 dan naik lagi, walaupun kemudian pada 2 tahun terakhir ini harga turun akibat permintaan yang lesu.
Periode tahun 1970-1980-an merupakan tahun-tahun awal pengusahaan hutan Indonesia melalui pemberian Hak Pengusahaan Hutan baik berupa PMA maupun PMDN. Dimana pada periode ini ditandai banyaknya pemegang HPH yang telah diizinkan untuk melaksanakan pengusahaan hutan di berbagai areal di Indonesia, demikian juga pengaruhnya pada beberapa Negara seperti Jepang, Taiwan dan lainnya mulai muncul industri perkayuan dan bahkan menguasai pasar plywood dunia.


Setelah selama tahun 1970-an menjadi pemasok bahan baku log yang menghidupi banyak pabrik di beberapa Negara, maka mulai era baru pengusahaan hutan di Indonesia dengan dibangunnya pabrik-pabrik pengolah bahan baku menjadi barang jadi.
Periode 1980-1990-an merupakan masa-masa kejayaan perkayuan Indonesia dengan menguasai pasar plywood dunia, bahkan puncaknya terjadi pada sekitar 1993, dimana harga plywood mencapai US $700/m3. Namun kemudian terjadi penurunan harga dan kelesuan permintaan.
Kenapa demikian? Banyak hal yang mempengaruhi pasang surut perkayuan Indonesia antara lain :
SUPLY BAHAN BAKU
Salah satu aspek yang banyak menentukan kelangsungan dan keseimbangan industri kayu adalah kepastian adanya supply bahan baku.
Berdasarkan data ITTO yang dimuat pada tropical forest update (Maret 1995) memberikan gambaran sebagai berikut : (Lihat table I,II,III,IV).
Data pada tabel 1 memperlihatkan 10 besar Negara anggota ITTO yang melakukan ekspor log (kayu) tropis yang didominasi oleh Malaysia, dimana pada tahun 1992 mencapai 17,3 juta m3 yang mengalami penurunan sebesar 6% dibanding ekspor tahun 1991. Sementara tahun 1993 sebesar 9,4 juta m3 dan tahun 1994 mengalami kenaikan 3,19 % menjadi 9,7 juta m3.
Tujuan utama ekspor log Malaysia adalah Jepang, RRC, Taiwan dan Korea Selatan, demikian juga Papua Nugini sebagai Negara terbesar kedua yang mengekspor log (kayu) tropis pada tahun 1992 sebesar 1,9 juta m3 dan tahun 1994 meningkat menjadi 2,9 juta m3 dengan negara tujuan utama Jepang dan Korea Selatan.
Ditambah ekspor log dari beberapa Negara lainnya yang tentunya akan menambah pasokan bahan baku bagi industri-industri kayu di Negara tujuan ekspor, terlebih Jepang, Korea dan Taiwan yang sebelumnya pernah menguasai pasar plywood dunia.
Sebagaimana diketahui bahwa raja kayu lapis semenjak 1950-an adalah Jepang, dengan Amerika Serikat sebagai pasar utama. Bahan bakunya berasal dari hutan-hutan Asia Tenggara (Malaysia dan Filipina) yang terkenal dengan sebutan Outh Sea Logs.
Ternyata permintaan domestik Jepang terus meningkat sehingga Jepang akhirnya mengundurkan diri dari pasar ekspor, dan posisi Jepang dalam perdagangan internasional digantikan Korea Selatan, Filipina, Taiwan, Malaysia dan Singapura.
Hal lain menarik yang perlu dikaji kalangan kehutanan Indonesia adalah kemampuan produksi dari lima Negara anggota ITTO yang jumlah produksinya mencapai 85 % dari total produksi anggota ITTO, yaitu Malaysia, Indonesia, Brazil, India dan PNG.
Apabila melihat tabel II, ternyata import log (kayu) tropis didominasi oleh Jepang, dimana pada tahun 1992 mencapai 11 juta m3 yang 78% dari jumlah tersebut berasal dari Serawak dan Sabah.
Dilain pihak Menteri Kehutanan Bapak Djamaludin Suryohadikusumo mengatakan kalaupun pengusaha Indonesia akan mengimpor log, maka sebaiknya tidak dari Negara tetangga karena dikhawatirkan kayu tersebut berasal dari wilayah Indonesia. Hal ini diperkuat dengan keterangan Team Penertiban Hutan Terpadu beberapa waktu lalu yang mengatakan bahwa team tersebut berhasil menahan 30-an traktor yang diduga milik pengusaha Negara jiran.
KEMAMPUAN INDUSTRI
Sebagaimana  disebutkan di atas bahwa importer utama log adalah Jepang, Korea, Taiwan yang pada tahun 1970-80-an merajai pasar plywood dunia kemudian mengalami slow down pada decade 1980-1990-an nampaknya perlu menjadi bahan antisipasi kalangan industrialis kayu Indonesia akan kemampuan teknologi ketiga Negara tersebut.
Bisa dikatakan bahwa teknologi industri plywood Indonesia identik dengan industri mereka pada tahun 1970-80-an, apakah selama kurun waktu 10 tahun tidak cukup bagi kalangan industri mereka untuk mengubah teknologi proses pembuatan plywood yang lebih efisien bahan baku misalnya, hingga mempunyai daya saing yang lebih menarik dibandingkan produk Indonesia walaupun didukung bahan baku yang lebih murah.
Kita semua tahu bahwa kemampuan teknologi macan-macan Asia tersebut sudah mendunia, dalam jangka panjang tentunya para industrialis plywood Indonesia harus mengantisipasi modifikasi teknologi yang digunakan selain melakukan diversifikasi produk.
Sebagai gambaran produksi plywood yang dihasilkan Negara utama penghasil plywood tropik disajikan pada tabel 4, sebagai berikut :
Dari tabel 4 di atas terlihat tidak hanya Negara yang memiliki sumber bahan baku saja yang banyak menghasilkan plywood tropis, namun negara tanpa (sedikit) sumber bahan baku malahan menjadi salah satu produsen plywood tropis, ini terlihat Jepang sebagai produsen kedua terbesar, Korea yang kelima dan seterusnya.
Melihat tingkat kompetisi pasar plywood dunia ditambah menurunnya tingkat pertumbuhan ekonomi di beberapa Negara tujuan yang pada akhirnya mengakibatkan lesunya industri perkayuan Indonesia, bahkan dikatakan kayu lapis kaltim, industri yang mulai redup (Manuntung 15/1).
Terjadinya kelesuan ekspor, banyak pihak yang merasa dirugikan, pemerintah jelas berkepentingan, karena ekspor plywood akan mempengaruhi perolehan devisa.
Pengusaha sudah pasti akan mengalami kekurangan keuntungan bahkan merugi, apalagi para karyawan bisa terancam PHK massal seperti yang sekarang banyak terjadi di kaltim.
Kendala, tantangan, peluang, langkah antisipasi, dan seterusnya merupakan bagian ataupun keadaan yang tak terpisahkan dari suatu proses perjalanan usaha. Hal ini akan banyak bergantung pada kiat-kiat, kepiawaian dan komitmen pengusaha dalam menghadapi tantangan yang ada guna dijadikan peluang menuju suatu keuntungan bersama. Bukan keuntungan sepihak seperti pengusaha yang beralih usaha di USA, sementara itu meninggalkan kesulitan pada karyawan yang ditinggalkan.
KONDISI INTERNAL (NASIONAL)
Krisis log yang dirasakan akhir-akhir ini, bahkan menimbulkan bangkrutnya beberapa industri plywood salah satunya dikarenakan kemungkinan  tidak seimbangnya luas areal/daya dukung hutan dengan kapasitas industri. Namun satu hal yang tidak bisa diingkari adalah bahwa krisis pasokan bahan baku akan dirasakan semua industri plywood, bukan karena potensi hutan Indonesia yang telah kritis, tetapi lebih banyak disebabkan oleh areal penebangan yang masih tersisa umumnya kurang ekonomis.
Antara lain jarak tebangan dari log pond telah jauh menjorok ke tengah hutan, jauh dari prasarana angkutan sungai. Di mana sungai merupakan sarana transportasi kayu yang jauh lebih murah dibandingkan jalan darat ataupun laut.
Tingkat pendisiplinan pemegang HPH yang dilakukan Departemen Kehutanan makin intensif baik berupa peringatan, pemberian sanksi atau denda dan bahkan pencabutan izin HPH semakin sering terdengar. Sementara itu ketentuan dan kewajiban HPH makin beragam dibandingkan pada dekade awal kegiatan HPH yang tentunya semua itu mempunyai konsekuensi biaya yang pada akhirnya bermuara pada pertimbangan ekonomis untung rugi.
Manajemen usaha pada beberapa kelompok industri perkayuan masih banyak yang dikelola secara gotong royong oleh anggota keluarga terdekat. Padahal usaha perkayuan merupakan suatu usaha yang khas dibandingkan jenis usaha lainnya, dimana disamping wawasan bisnis yang cukup, juga harus didukung wawasan dan komitmen atas azas kelestarian hutan sebagai sumber kelangsungan dan kesinambungan usaha.
Kewajiban lain yang bersifat menyeluruh terhadap pengusaha di Indonesia yang kelihatannya mulai menekankan pada tingkat kesejahteraan karyawan berupa keharusan program Jamsostek, dan pensiun karyawan, THR (sebelumnya bersifat anjuran) dan satu hal yang mendasar adalah kenaikan UMR secara berkala dari kebutuhan fisik minimum menuju standar kebutuhan hidup minimum.
Kepastian kawasan hutan yang diusahakan masih sering adanya tumpang tindih kepentingan, sehingga akan mempengaruhi rencana pengusahaan hutan dalam jangka panjang.

KONDISI EXTERNAL (INTERNASIONAL)
Trend masa kini dalam perdagangan internasional adalah bahwa kesadaran konsumen di Negara maju sebagai tujuan produk ekspor Indonesia akan perlindungan lingkungan telah melekat sehingga produk hijau merupakan pilihan pembeli.
Tuntutan konsumen terhadap produk hijau perlu ditanggapi dengan bijaksana dan pro aktif, baik oleh pemerintah, dunia usaha/industri dan masyarakat pemerhati lainnya.
Walaupun bagi Indonesia sebagai Negara berkembang, kewajiban perlindungan lingkungan merupakan beban, namun dalam jangka pemikiran yang lebih luas, lebih optimis, maka ekolabeling dapat merupakan suatu peluang dan membutuhkan persiapan yang mantap. Pada hal menurut kesepakatan ITTO, ecolabelling ini akan diterapkan pada tahun 2000.
Selain diberlakukannya ecolabelling tahun 2000, juga pada decade ini dimulainya babak baru perdagangan internasional berupa perdagangan bebas hambatan ibarat jalan tol yang hanya dua kali berhenti di awal dan ujung perjalanan untuk terjadinya transaksi tanpa hambatan macam-macam di tengah perjalanan.

Suply log dari beberapa Negara tropis lainnya masih cukup banyak hingga bisa menumbuhkan kembali industri kayu di Negara tanpa (sedikit) bahan baku seperti Korea, Jepang, Taiwan dan sebagainya yang sebelumnya memang menguasai prasarana plywood dunia.
Dalam kerangka berpikir positif, kalangan pengusaha maupun ilmuwan kehutanan Indonesia perlu mempelajari kemampuan Malaysia sebagai produsen kayu tropis melebihi pasokan hutan Indonesia. Apakah dalam hal ini sudah demikian intensif rekayasa manusia untuk meningkatkan potensi hutan Malaysia yang luasnya 19,37 juta hectare (meliputi hutan produksi, Taman Nasional, Cagar Alam dan Hutan Konversi) dibandingkan hutan Indonesia seluas 144 juta hektare yang diantaranya 64 juta hectare hutan produksi.


PENUTUP
Bentuk antisipasi bagaimana yang bisa dilakukan kalangan pengusaha hutan Indonesia? Tentu banyak alternative yang bisa diambil, namun pertanyaan mendasar yang akan mewarnai pemilihan alternative adalah komitmen pengusaha. Di antara alternative yang bisa di ambil adalah :
Evaluasi kegiatan pengusahaan hutan sebagai pemasok bahan baku dengan memperhatikan azas-azas pengusahaan yang mendukung kesinambungan industri. Dalam hal ini kelestarian hutan tidak hanya memenuhi peraturan dan tuntutan internasional semata, namun juga menyangkut kelangsungan usaha.
Efisiensi penggunaan bahan baku dan diversifikasi penggunaan jenis kayu yang bisa digunakan sebagai bahan baku selain yang sudah dikenal saat ini maupun diversifikasi produk yang dihasilkan termasuk kombinasi bahan baku yang berasal dari hutan tanaman. Alternative ini memerlukan penciptaaan dan penguasaan pasar serta penyempurnaan teknologi proses industri.
Diperlukan kebersamaan diantara produsen dalam negeri guna menghadapi kompetitor luar yang dirasakan semakin menguat.
Alternative lain yang mungkin lebih aman bagi para “businesman” adalah perlahan-lahan mundur dari percaturan dunia kayu dan mengalihkan pada jenis usaha yang lebih menjanjikan dalam jangka panjang.

Semua data grafik bersumber pada bulletin ITTO, Tropical Forest Up Date bulan Maret  dan September 1995.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar