Bagaikan bola salju yang
terus menggelinding isu penertiban pungutan yang awalnya dilontarkan menteri
tenaga kerja beberapa waktu lalu, gema dan polemiknya tidak hanya ditingkat
pusat tapi juga membekas ke daerah-daerah termasuk Kalimantan Timur.
Banyak aspek yang
dibahas atas keterkaitan adanya pungutan-pungutan ini dengan tingkat
kesejahteraan untuk karyawan swasta, pegawai negeri maupun daya saing produk
Indonesia dalam menghadapi persaingan global pada era perdagangan bebas yang
tidak lama lagi akan diberlakukan.
Menghadapi persaingan
perdagangan internasional pada waktu mendatang, bagi Indonesia sebagai salah
satu Negara yang sedang membangun, peluang untuk mengekspor barang dagangannya
ke Negara maju mempunyai masalah yang kompleks dan tidak mudah untuk dipenuhi.
Karena banyak hal yang
dipersyaratkan para konsumen Negara maju, selain kualitas yang terjaga, harga
yang bersaing, waktu penyerahan tepat yang sesuai dengan keperluan dan kontrak,
juga adanya persaingan sesama Negara berkembang yang umumnya mempunyai produk
yang serupa.
Dengan kondisi seperti itu,
sudah jelas hanya produk-produk yang mempunyai nilai kompetitif saja yang akan
mampu menembus pasar, tidak hanya pasar internasional tapi juga pasar domestic.
Karena apa ? Apabila produk domestic tidak mempunyai daya saing, maka pangsa
pasar sendiri pun akan dimasuki produk-produk impor, apabila hal ini terjadi
maka jangankan bersaing di pasar Negara lain, didalam negeri pun akan
kedodoran.
Mudah-mudahan saja hal
ini hanya kekhawatiran penulis yang salah, karena memang apabila membayangkan
hal seperti itu menjadi suatu kenyataan, maka akan menimbulkan berbagai dampak
turunan yang tidak sederhana.
Jadi jelas sudah, bahwa
perbaikan dan atau peningkatan daya saing produk industri kita harus segera
dilakukan kalau tidak mau terlambat.
Hal inilah yang diharapkan
menteri tenaga kerja dengan adanya penertiban pungutan akan memberikan peluang
bagi peningkatan kesejahteraan karyawan swasta yang pada akhirnya akan
meningkatkan produktivitas kerja sebagai salah satu unsur perbaikan daya saing
produk.
Namun Ketua Apindo
Suratno Hadisuwito dalam Business News (4 Maret 1996) menyatakan bahwa
pemangkasan berbagai pungutan yang dilakukan pemerintah tidak mempunyai kaitan
langsung dengan upah pekerja maupun produktivitas. Peningkatan produktivitas
bukan semata-mata faktor buruh, tapi bisa juga karena investasi dalam
mesin-mesin dan teknologi yang digunakan.
PERDAGANGAN
INTERNASIONAL
Trend perdagangan
internasional yang perlu diperhatikan dan dicermati perkembangannya karena
langsung ataupun tidak langsung akan banyak mempengaruhi pola perdagangan pada
masa mendatang, antara lain :
1. W
T O
World Trade Organization
diawali dengan persetujuan dan penandatanganan kesepakatan Putaran Uruguay/GATT
di Marrakesh, Maroko pada bulan April 1994, dimana sekarang dituntut
konsistensi semua Negara yang telah meratifikasinya.
Dengan adanya
kesepakatan ini, maka masyarakat dunia akan melaksanakan perdagangan
internasional yang terbuka.
2. A
F T A
ASEAN Free Trade Area,
merupakan suatu langkah antisipasi Negara-negara anggota ASEAN dalam menghadapi
perkembangan ekonomi global.
Langkah awal guna
mempercepat proses pembentukan AFTA, telah dikembangkan kerjasama sub regional
pusat pertumbuhan ekonomi yang melibatkan beberapa wilayah Negara anggota
ASEAN, seperti :
Sijori
(Singapura-Johor-Riau) yang merupakan pembentukan pusat pertumbuhan pusat
pertumbuhan ekonomi antara Indonesia, Malaysia dan Singapura yang diwakili
wilayah Singapura, Johor dan Riau.
Pertumbuhan ekonomi
wilayah timur anggota ASEAN yang meliputi kerjasama antara Brunei Darussalam, Indonesia,
Malaysia dan Filipina (BIMP-EAGA).
3. A
P E C
APEC sebagai suatu forum
kerjasama Negara-negara Asia Pasifik yang dikenal mempunyai pertumbuhan ekonomi
yang cepat dan dinamis pada saat ini dan diperkirakan oleh banyak kalangan
bahwa kawasan ini akan banyak berperan dalam pertumbuhan ekonomi dunia pada
masa mendatang.
PRODUKTIVITAS
DAN DAYA SAING
Menarik untuk disimak
lebih jauh pernyataan Ketua Apindo seperti dikutip diatas yang menyatakan bahwa
pemangkasan berbagai pungutan tidak mempunyai kaitan langsung dengan upah
pekerja maupun produktivitas. Jadi kalau begitu, aspek apa yang bisa mendorong
produktivitas kerja ? Memang betul berbicara produktivitas kerja, banyak
dimensi atau pun variable yang harus dibahas, yaitu :
Teknologi industri,
jenis atau tipe mesin yang digunakan akan banyak berpengaruh pada produk yang
dihasilkan baik dari sudut kualitas produk maupun jumlah yang biasa diproduksi
per satuan waktu akan berbeda antara teknologi yang satu dengan teknologi
lainnya. Selain itu tingkat efisiensi penggunaan energi penggerak (bahan bakar)
dan optimalisasi penggunaan bahan baku akan ikut mempengaruhi struktur atau
komposisi biaya produksi suatu produk.
Mekanisme dan suasana
kerja di lokasi produksi akan mewarnai kemampuan, gairah kerja dan kerelaan
bekerja yang pada akhirnya bermuara pada motivasi kerja yang mendukung
produktivitas atau malah sebaliknya.
Kualitas sumber daya
manusia (SDM), kecanggihan teknologi yang digunakan perlu didukung kualitas
SDM-nya, karena hasil akhirnya akan banyak ditentukan oleh the man behind the
gun. Permasalahannya sekarang adalah upaya apa yang perlu dilakukan guna
membentuk SDM yang berkualitas, yang mempunyai motivasi tinggi ataupun memiliki
etos kerja yang baik.
Suseno TW (Business
News) mengatakan bahwa fackor lingkungan di mana seseorang berada merupakan
suatu masukan dan penentu bagi kualitas manusia. Sehingga berbicara masalah
pengembangan SDM untuk meningkatkan produktivitas kerja, maka seharusnya tidak
lepas dari bagaimana upaya meningkatkan kondisi lingkungan manusia itu sendiri.
Produktivitas penduduk
akan rendah bila kondisi lingkungan sangat buruk. Tampak bahwa sebetulnya
kondisi lingkungan/kualitas tempat tinggal seseorang akan banyak mempengaruhi
kesehatan para penghuninya baik kesehatan fisik maupun psikis. Apabila kondisi
kesehatan seseorang sering terganggu otomatis
akan mempengaruhi produktivitas yang bersangkutan. Kondisi tempat
tinggal bagaimana yang layak, barangkali sirkulasi udara cukup baik, adanya sarana
penerangan yang memadai, ratio jumlah penghuni dengan luas bangunan seimbang
dan lainnya.
Jadi memang benar kalau
dikatakan bahwa penertiban pungutan tidak mempunyai kaitan langsung dengan
produktivitas kerja.
Namun apabila ditelusuri
lebih jauh, ternyata mempunyai kaitan tidak langsung yang cukup erat apabila
pengusahanya mempunyai komitmen untuk memperhatikan kesejahteraan pekerjanya.
Dimana dengan adanya perbaikan upah pekerja, maka akan terjadi perbaikan daya
beli para pekerja, hal ini diharapkan bisa meningkatkan kemampuan pekerja memperbaiki
kualitas lingkungan (tempat tinggal) sebagai salah satu faktor yang
mempengaruhi produktivitas.
Produktivitas kerja para
pekerja sebagai salah satu unsur yang mempengaruhi daya saing pemasaran suatu
produk akan lebih terasa pengaruhnya apabila didukung aspek lainnya secara
simultan, baik dukungan pengusaha guna mengevaluasi kembali produktivitas
teknologi yang digunakan maupun kesiapan pemerintah dalam menekan biaya ekonomi
tinggi.
Dalam kaitan pengurangan
biaya ekonomi tinggi inilah diharapkan peran dari adanya upaya penertiban
pungutan yang akhir-akhir ini didengungkan dan mudah-mudahan bisa
direalisasikan dengan baik dan penuh kerelaan.
Penertiban pungutan
hanyalah merupakan langkah pembenahan pada suatu “akibat” yang terjadi pada
akhir proses, ibarat adanya keharusan industri memiliki unit pengelolaan limbah
guna menetralisir limbah yang terjadi. Di mana proses UPL ini biasanya lebih
mahal dan lebih kompleks, karena perbaikan dilakukan pada akhir proses
kegiatan. Demikian pula penertiban pungutan, barangkali akan lebih sederhana
apabila dikaji akar permasalahan yang menyebabkan semaraknya pungutan
sebagaimana banyak dibicarakan berbagai kalangan.
Terdapat dua sisi yang
nampaknya mempunyai kontribusi dalam semaraknya pungutan ini, yaitu unsur pemerintah dan unsur pengusaha sendiri.
Unsur pemerintah,
sementara ini banyak pihak seringkali mengaitkan dengan tingkat kesejahteraan
pegawai pemerintah, namun kalau penulis tidak salah beberapa waktu lalu Prof
Soemitro Djojohadikusumo pernah melontarkan bahwa tingkat kebocoran anggaran
mencapai angka 30 %.
Walaupun waktu itu
kemudian terjadi polemic mengenai besarnya kebocoran tersebut yang juga
dikomentari oleh Ketua Bappenas bahwa tidak sebesar itu.
Terlepas dari polemic
prosentase, namun yang jelas Prof Soemitro yang sudah terkenal sebagai “Begawan
Ekonomi Indonesia” tentunya mempunyai perhitungan empiris yang mendasari dan
apakah mungkin angka tersebut dialokasikan guna perbaikan kesejahteraan pegawai
pemerintah secara menyeluruh. Hanya sejauhmana pengaruhnya, mungkin para ahli
ekonomi, para ahli perencana pembangunan yang lebih bisa lebih memahaminya.
Kemungkinan lainnya
seiring dengan autonomi daerah, barangkali perlu dikaji adanya kewenangan
daerah membentuk unit-unit usaha sesuai unggulan setempat, dimana sebagian
keuntungannya digunakan dalam upaya peningkatan kesejahteraan tersebut.
Hal ini yang perlu
dicermati yang barangkali mempunyai pengaruh atas terjadinya pungutan tersebut
adalah jumlah persyaratan yang diperlukan guna memperoleh perizinan suatu
aktivitas usaha. Semakin banyak dan panjang persyaratan yang diperlukan akan
merangsang tumbuhnya upaya-upaya jalan pintas.
Unsur pengusaha, para
pengusaha dan jajarannya pun mempunyai andil terbentuknya pungutan-pungutan
tersebut. Untuk itu diperlukannya kesiapan kalangan usaha dalam memenuhi
persyaratan dan prosedur yang diperlukan. Dalam hal ini wujud terimakasih
pengusaha bisa diwujudkan dalam fasilitas social yang bisa dinikmati banyak
orang, baik fasilitas diinstansi tertentu ataupun fasilitas yang bisa
dimanfaatkan masyarakat umum.
Namun semua politik
pemerintah yang berupaya melakukan penertiban pungutan ini merupakan langkah
yang bijaksana yang perlu didukung oleh semua pihak yang terkait.
Hingga bagaimana
kesiapan kita beralih dari pola NATO menyongsong berlakunya AFTA dalam artian
Not Action Talk Only menjadi Action First Talk After.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar