Minggu, 27 Januari 2013

ORGANISASI, DEMOKRASI DAN IMPLEMENTASINYA



Organisasi sebagai suatu bentuk persekutuan antara dua orang atau lebih yang melakukan kerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama dan terikat dalam kedudukannya sebagai kelompok pemimpin dan yang dipimpin.
Menterjemahkan kata organisasi banyak orang bisa berbeda pendapat, namun yang jelas merupakan tempat banyak orang menghimpun diri, mengikatkan diri ataupun hanya sekedar kumpul-kumpul sambil minum kopi. Barangkali yang bisa disepakati adalah organisasi biasanya ada yang menjadi pengurus/pemimpin yang mengatur rodanya perhimpunan tersebut dan terdapat anggota yang merupakan bagian yang diatur dalam perjalanan organisasi yang dimaksud.
Apa alasan banyak orang untuk menghimpun diri ?  Di sinilah keterpaduan, kelancaran maupun kebersamaan anggota atau organisasi diawali, karena apa ? Alasan seseorang untuk bergabung pada suatu organisasi akan banyak mempengaruhi kiprah yang bersangkutan dan pada akhirnya akan mewarnai bentuk organisasi yang diikutinya.
Menilik sejarah bangsa kita sekian puluh tahun yang lalu, dimana pada saat itu kemudian dinamakan era kebangkitan nasional dengan ditandai bermunculannya berbagai organisasi seperti, Jong Celebes, Jong Ambon dan banyak yang lainnya yang kita lihat nampak jelas bahwa organisasi-organisasi tersebut didirikan secara berbau SARA, paling tidak kesukuan. Tapi dibalik itu semua, ternyata mempunyai suatu sasaran yang sama atau  target utama pencapaian berdirinya organisasi tersebut yakni demi mewujudkan kemerdekaan Negara Indonesia.
Para anggota organisasi ini menyadari bahwa mereka berbeda suku bangsa, berbeda bahasa dan perbedaan lainnya, namun dengan kesadaran yang penuh dan jelas merekapun sepakat bahwa tujuan dari berbagai organisasi tersebut adalah sama. Inilah salah satu kekayaan ataupun salah satu potensi yang dimiliki bangsa kita, berbeda-beda suku, berbeda-beda pulau tapi tetap satu.
Fenomena bermunculannya organisasi pada sekian puluh tahun yang lalu, nampaknya pada era tahun 90-an ini menjadi suatu mode kembali. Berbagai nama perhimpunan bermunculan dengan berbagai ragam figure individu yang ditonjolkan ataupun menonjolkan keberadaannya.
Suatu trend yang layak untuk diikuti dan dicermati perkembangannya guna menentukan pilihan, organisasi mana yang akan diikuti ataupun sekadar menjadi pengamat walaupun dalam tahap masih amatiran, paling tidak bias menjadi penonton ataupun pendengar yang baik dalam arti bisa memahami kemana arah dan tujuan perjalanan organisasi dimaksud.
Pembentukan organisasi pada decade tahun 90-an ini kelihatannya mengarah pada komitmen atau konsep demokrasi, jadi berlainan dengan dekade sebelumnya yakni demi kemerdekaan suatu bangsa, tapi saat ini adalah upaya pengisian alam kemerdekaan itu sendiri, baik pendemokrasian melalui organisasi kecil dan sederhana maupun dalam lingkup lebih luas yakni organisasi penyelenggaraan pemerintahan.
Sudah cukup banyak pemikiran dilontarkan para ahli maupun kampium pada decade tahun 20-an ternyata telah memperkuat dan mempunyai andil yang tidak kecil atas kemerdekaan republic ini. Fenomena bermunculannya perhimpunan, bisa dikatakan hampir serupa dengan yang terjadi pada periode tahun 90-an ini, namun sejarah masih terus berjalan, roda organisasi yang didirikan masih terus berputar. Akan ke mana terminal akhir yang akan disinggahi roda-roda tersebut, masih diperlukan waktu untuk pembuktiannya.
Isyu demokrasi semakin sering terdengar seiring mendekatnya pelaksanaan peserta demokrasi rakyat Indonesia, Pemilu 1997. Pesta demokrasi lima tahun ini memang bisa dijadikan suatu wahana, salah satu tolok ukur proses ataupun tahapan pelaksanaan demokrasi mulai awal kegiatan hingga menelorkan suatu produk akhir yang akan merupakan awal perjalanan bangsa lima tahun mendatang.
Namun apabila dicermati, beberapa perkembangan organisasi akhir-akhir ini cenderung pada pembentukan oposisi, langsung atau tidak langsung ataupun istilah lainnya pengurus tandingan. Sebagai ilustrasi kepada kita contohnya pembentukan pengurus DPD sebuah organisasi yang menghasilkan dua kepengurusan yang masing-masing mengklaim bahwa pihaknya yang paling berhak sebagai pengurus dan kelihatannya belum mencapai suatu titik temu.
Atau sebuah organisasi massa yang mempunyai anggota cukup besar yang juga dalam perjalanannya setelah muktamar menghasilkan pula pengurus tandingan, demikian pula sebuah organisasi yang dilahirkan dan dikembangkan oleh para anggotanya sebagai lokomotif demokrasi, ternyata dalam estafet kepemimpinannya juga tidak menghasilkan suatu kesepakatan yang bias diterima semua pihak yang terkait.
Kebhinekaan merupakan suatu fakta yang dihadapi bangsa kita, namun sesuai dengan motto Bhineka Tunggal Ika, maka biarpun perbedaan yang tetap beda. Melainkan menghargai adanya perbedaan, tetapi tetap bersepakat pada keputusan ataupun kesepakatan yang dihasilkan. Dalam hal inilah perlu menumbuhkembangkan konsep “kerjasama untuk bersama” tidak untuk salah satu pihak.
Hal lain berkaitan dengan pelaksanaan demokrasi, DR Nurcholish Madjid (Manuntung 16 Maret 1996) mengatakan bahwa pelaksanaan demokrasi di Negara kita masih perlu terus disempurnakan. Karena demokrasisasi merupakan proses eksperimen menuju system  demokrasi yang tepat diterapkan di suatu Negara. Juga Cak Nur mengatakan bahwa langkahnya bersama sejumlah tokoh prodemokrasi mendirikan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) merupakan upaya untuk ikut melakukan eksperimen demi penyempurnaan demokratisasi.
Apakah statement Cak Nur ini ada relevansinya atau mungkin bisa kita tarik suatu benang merah terbentuknya beberapa pengurus tandingan organisasi pada akhir-akhir ini sebagai upaya eksperimen pula. Namun suatu hal yang harus dipertimbangkan bersama dalam memperhatikan kelahiran dualisme kepemimpinan organisasi pada ini adalah pada prinsipnya kedua belah pihak selalu merasa paling ataupun sudah sesuai dengan konstitusi, sesuai dengan AD/ART, sesuai aspirasi massa atau sesuai konsep demokrasi tersebut. Hingga masing-masing pihak mendudukan dirinya pada kursi yang benar, sementara saudaranya yang lain pada kursi yang salah. Kalau sudah sampai pada tahap ini, maka siapa yang berhak menjadi wasit, pertanyaan berikutnya, sejauhmana keberadaannya diakui, diterima dan dituruti oleh kedua belah pihak.
Sementara ini dikenal adanya kelompok prodemokrasi, sekilas bias kita tangkap bahwa kalau ada kelompok yang pro maka biasanya  ada pihak lain yang dikategorikan kontra. Namun apabila sesama anggota pro ataupun sesama kontra ternyata juga tidak bisa saling bersepakat atas suatu kesimpulan musyawarah mufakat bahkan voting yang telah dilakukan, dinamakan apalagi kelompok dalam kelompok ini.
Karena apabila ukurannya adalah kepuasan totality semua pihak yang terkait, mungkinkah hal tersebut bisa terwujud? Kalau bisa, maka patut disyukuri, apabila tidak bisa, apakah diperlukan pemisahan diri dari wadah yang telah disepakati sebelumnya.
Betapa beratnya para pendahulu Republik ini untuk mengurangi bahkan mungkin menghilangkan ego kepentingan dirinya, ego kepentingan kelompoknya guna menerima kesepakatan bahwa kita ini pada dasarnya adalah berbeda-beda, tapi tetap satu.
Disinilah terlihat jelas, bahwa tidak ada yang menjadi pemenang, begitu juga tidak ada yang kalah, semua merasa Win-Win.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar