Selasa, 12 Maret 2013

Sertifikasi Hutan; Mandatory VS Voluntary



Sertifikasi Hutan; Mandatory VS Voluntary

Gaung sertifikasi hutan atau dikenal pula sebagai Ecolabel telah mulai sejak tahun 90-an, dimana pada saat itu melalui PoKja Ecolabel telah dimulai pembahasan tentang pendirian Lembaga ecolabel Indonesia serta penyusunan criteria & indicator yang akan dijadikan sebagai acuan ecolabel di Indonesia.   Pengurus Pusat APHI mengambil langkah dengan dibentuknya team Pembina APHI yang terdiri dari para pakar yang berasal dari berbagai Fahutan di Indonesia guna menyusun acuan criteria dan melakukan bimbingan terhadap para pemegang HPH sebagai anggota APHI.

ITTO sebagai sebuah organisasi internasional yang menaungi para konsumen dan produsen kayu/hutan dunia telah mencanangkan pula target penerapan ecolabel kepada para anggotanya mulai tahun 2000.   Sehingga apabila kita menghitung mundur sejak tahun 2000 sebagai target yang ditetapkan ITTO, kita dapat melihat sejauhmana perkembangannya hingga saat ini. 

 Dimana untuk di Indonesia, telah dicatat terdapat sebanyak 15 unit management hutan alam yang telah memegang sertifikat hutan skema FSC yang mencakup kawasan hutan seluas 1.856.588 hektar (sangat kecil dibandingkan 143 juta hektar yang telah sertifikasi secara internasional); 3 unit management hutan alam skema LEI dan sebanyak 128 unit management hutan alam yang telah mengikuti skema mandatory Kementrian Kehutanan. 

 Khusus untuk skema FSC yang telah tercatat sebanyak 15 unit management hutan alam dan 10 unit diantaranya merupakan unit management yang mengelola kawasan hutan di bumi Kalimantan alias Borneo, dan mudahan hal ini merupakan suatu indikasi adanya komitmen para pemegang konsesi atas kelestarian kawasan hutan Dipterocarpa yang semakin terbatas.  Kenapa, keberadaan sertifikasi hutan di bumi Borneo menjadi penting, tentunya hal ini dikarenakan bahwa Hutan Hujan Tropis/ Tropical Rain Forest yang identik dengan kawasan hutan Kalimantan sangatlah berarti dari sisi kelestarian ekosistem maupun perannya sebagai penyangga paru-paru dunia.

Sebelumnya, keberadaan sertifikasi hutan dengan skema voluntary telah diakui dan diapresiasi tersendiri oleh Kementrian Kehutanan melalui terbitnya PerMenhut yang membebaskan unit management yang telah lulus skema voluntary tidak perlu lagi mengikuti skema mandatory.  Namun kebijakan terakhir adalah seluruh pemegang konsesi diharuskan menjalani sertifikasi skema mandatory.  Sehingga bagi unit management yang telah mendapat sertifikat skema voluntary, tetap harus siap menjalani skema mandatory yang tentunya secara langsung akan meningkatkan biaya yang dikeluarkan.

Dalam menyikapi penerapan sertikasi mandatory yang dikenakan kepada seluruh unit konsesi, maka terdapat hal-hal yang dapat dipertimbangkan, antara lain;

1.      Apabila kita mencermati criteria & indicator yang dikembangkan oleh FSC, LEI ataupun Kementrian Kehutanan, pada dasarnya mempunyai kesamaan aspek ataupun sub aspek yang dijadikan bahan penilaian.
2.      Tujuan utama penerapan sertifikasi hutan adalah sebagai upaya menjaga kesinambungan atau kelestarian kawasan hutan dengan segala fungsinya, baik fungsi produksi, lingkungan dan social masyarakat.
3.      Upaya memenuhi tuntutan pasar atas produk-produk hutan dan hasil hutan yang lebih “environment friendly”.

Dengan memperhatikan ketiga point tsb di atas, maka seyogyanya Kementrian Kehutanan dapat memberikan kelonggaran kepada para pemegang konsesi untuk memilih dan menetapkan skema sertifikasi yang akan diikutinya sebagaimana regulasi yang pernah ada sebelumnya.  Dengan demikian, merupakan upaya Kementrian Kehutanan pula dalam turut mendukung pengurangan biaya produksi dalam rangka peningkatan kesejahtraan para pekerja sector kehutanan sebagaimana pada saat ini dan kedepannya akan terus diperjuangkan oleh para anggota serikat pekerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar