Sertifikasi Hutan; Mandatory VS Voluntary
Gaung sertifikasi
hutan atau dikenal pula sebagai Ecolabel telah mulai sejak tahun 90-an, dimana
pada saat itu melalui PoKja Ecolabel telah dimulai pembahasan tentang pendirian
Lembaga ecolabel Indonesia serta penyusunan criteria & indicator yang akan
dijadikan sebagai acuan ecolabel di Indonesia.
Pengurus Pusat APHI mengambil langkah dengan dibentuknya team Pembina
APHI yang terdiri dari para pakar yang berasal dari berbagai Fahutan di
Indonesia guna menyusun acuan criteria dan melakukan bimbingan terhadap para
pemegang HPH sebagai anggota APHI.
ITTO sebagai sebuah
organisasi internasional yang menaungi para konsumen dan produsen kayu/hutan
dunia telah mencanangkan pula target penerapan ecolabel kepada para anggotanya
mulai tahun 2000. Sehingga apabila kita
menghitung mundur sejak tahun 2000 sebagai target yang ditetapkan ITTO, kita
dapat melihat sejauhmana perkembangannya hingga saat ini.
Dimana untuk di Indonesia, telah dicatat
terdapat sebanyak 15 unit management hutan alam yang telah memegang sertifikat
hutan skema FSC yang mencakup kawasan hutan seluas 1.856.588 hektar (sangat
kecil dibandingkan 143 juta hektar yang telah sertifikasi secara internasional);
3 unit management hutan alam skema LEI dan sebanyak 128 unit management hutan
alam yang telah mengikuti skema mandatory Kementrian Kehutanan.
Khusus untuk skema FSC yang telah tercatat
sebanyak 15 unit management hutan alam dan 10 unit diantaranya merupakan unit
management yang mengelola kawasan hutan di bumi Kalimantan alias Borneo, dan
mudahan hal ini merupakan suatu indikasi adanya komitmen para pemegang konsesi
atas kelestarian kawasan hutan Dipterocarpa yang semakin terbatas. Kenapa, keberadaan sertifikasi hutan di bumi
Borneo menjadi penting, tentunya hal ini dikarenakan bahwa Hutan Hujan Tropis/
Tropical Rain Forest yang identik dengan kawasan hutan Kalimantan sangatlah
berarti dari sisi kelestarian ekosistem maupun perannya sebagai penyangga
paru-paru dunia.
Sebelumnya,
keberadaan sertifikasi hutan dengan skema voluntary telah diakui dan
diapresiasi tersendiri oleh Kementrian Kehutanan melalui terbitnya PerMenhut
yang membebaskan unit management yang telah lulus skema voluntary tidak perlu
lagi mengikuti skema mandatory. Namun
kebijakan terakhir adalah seluruh pemegang konsesi diharuskan menjalani
sertifikasi skema mandatory. Sehingga
bagi unit management yang telah mendapat sertifikat skema voluntary, tetap
harus siap menjalani skema mandatory yang tentunya secara langsung akan
meningkatkan biaya yang dikeluarkan.
Dalam menyikapi
penerapan sertikasi mandatory yang dikenakan kepada seluruh unit konsesi, maka
terdapat hal-hal yang dapat dipertimbangkan, antara lain;
1.
Apabila kita mencermati criteria
& indicator yang dikembangkan oleh FSC, LEI ataupun Kementrian Kehutanan,
pada dasarnya mempunyai kesamaan aspek ataupun sub aspek yang dijadikan bahan
penilaian.
2.
Tujuan utama penerapan sertifikasi
hutan adalah sebagai upaya menjaga kesinambungan atau kelestarian kawasan hutan
dengan segala fungsinya, baik fungsi produksi, lingkungan dan social
masyarakat.
3.
Upaya memenuhi tuntutan pasar atas
produk-produk hutan dan hasil hutan yang lebih “environment friendly”.
Dengan
memperhatikan ketiga point tsb di atas, maka seyogyanya Kementrian Kehutanan
dapat memberikan kelonggaran kepada para pemegang konsesi untuk memilih dan menetapkan
skema sertifikasi yang akan diikutinya sebagaimana regulasi yang pernah ada
sebelumnya. Dengan demikian, merupakan
upaya Kementrian Kehutanan pula dalam turut mendukung pengurangan biaya
produksi dalam rangka peningkatan kesejahtraan para pekerja sector kehutanan
sebagaimana pada saat ini dan kedepannya akan terus diperjuangkan oleh para
anggota serikat pekerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar